Jumat, 01 April 2011

BAB 5. INDUSTRIALISASI

PENDAHULUAN


      Pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk membahas mengenai INDUSTRIALISASI yang dimana ada beberapa sub-sub seperti konsep dan tujuan industri dan faktor-faktor juga mengenai perkembangan sektor industri serta permasalahan industri dan juga strategi pembaqngunan industri. Mudah-mudahan bisa menambah pengetahuan kita mengenai ihdustrialisasi.

    Diantara sektor-sektor ekonomi domestik lainnya, Industri manufaktur adalah sektor yang sangat tergantung pada (M) terutama komponen-komponen dam mesin-mesin. Hal ini erat kaitannya dengan kenyataannya bahwa banyak industri di dalam negeri adalah industri perakitan barang-barang subsitusi M yang berarti sangat tergantung pada (M) dari negara yang menghasilkan barang-barang tersebut.

    Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.



INDUSTRIALISASI


A.    KONSEP DAN TUJUAN INDUSRIALISAI

      Dalam  sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi berawal dari revolusi industri pertama pada pertengahan abad ke-18 di Inggris, yang ditandai dengan penemuan metode baru untuk pemintalan, dan penenunan kapas yang menciptakan spesialisasi dalam produksi,serta peningkatan produktivitas dari faktor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan penemuan baru dalam pengolahan besi baja, kereta api, dan kapal tenaga uap. Setelah itu kemudian menyusul revolusi industri kedua pada akhir abad ke-18, dan awal abad ke-19 dengan berbagai perkembangan teknologi dan inovasi. Setelah Perang Dunia II, mulai muncul berbagai teknologi baru seperti sistem produksi masal dengan menggunakan jalur assembling, tenaga listrik, kendaran bermotor, penemuan berbagai barang sintesis, dan revolusi teknologi telekomunikasi, elektronik, bio, komputer, dan penggunan robot. Semua perkembangan ini mengubah pola produksi industri, meningkatkan volume perdagangan dunia, dan memacu proses industrialisasi di dunia (Pangestu dan  Aswicahyo, 1996).

     Sejarah ekonomi dunia menujukan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antar negara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari yang tadinya berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Dapat dikatan bahwa terutama kombinasi antara dua pendorong dari sisi penawaran agregat (produksi,) yakni progres teknologi dan inovasi produk serta proses produksi, dan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi sisi permintaan agregat, merupakan kekuatan utama di balik akumulasi proses industrialisasi di dunia.

     Pengalaman di hampir semua negara menunjukan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan minyak atau SDA yang melimpah, seperti Kuwait, Arab Saudi,  Emirat Arab, Qatar, Libia, dan Brunei Darusalam dapat berharap mencapai tingkat pandapataan per kapita yang tinggi tanpa lewat proses industrialisasi atau pembangunan sektor industi yang kuat, tetapi hanya mengandalkan minyak. Fakta di banyak negara menujukan bahwa tidakada perekonimian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan), mampu mencapai tingkat PN per kapita di atas US$ 500 selama jangka panjang (Kahn, 1979). Contohnya, sejak Pelita I 1969, pemerintah Indonesia melaksanakan industrialisasi. Sesudah itu, hingga krisis ekonomi terjadi tahun 1997 PN per kapita mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Kalau hanya mengndalkan pertanian dan pertambangan (khususnya migas), Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang saat ini tidak pernah bisa mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7%, dan tingkat PN per kapita i atas US$ 1000 pada pertengahan 1997.

     Walaupun demikian, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkanhanya salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dan berkelanjutan ( Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaan sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam pembentukan PDB, permintaan konsumen, ekspor dan kesempatan kerja (Chenery ,1992).

     Rute industrialisasi telah menunjukan bukti-bukti keberhasilan bagi negara-negara yang sekarang dikenal dengan sebutan negara-negara  industri maju seperti Eropa, AS, Kanada, Jepang, dan Australia. Melihat keberhasilan ini, banyak negara-negara berkembangan, termasuk Indonesia, yang mendapatkan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai, mencoba menggunakan model-model pembangunan yang telah berhasil diterapkan di negara-negara industr maju tersebut (Hasibuan, 1993).


B. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG INDUSTRIALISASI 

    Selain perbedaan kemampuan dalam pengembangan teknologi (T) dan inovasi (In), serta laju pertumbuhan PN per kapita, adad sejumlah faktor lain yang membuat intensitas dari proses industrialisasi berbeda antarnegara. Faktor-faktor lain tersebut adalah sebagai berikut.

(1)    Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar atau dsebut juga industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen, petrokimia, dan industri-industri tengah (antara hulu dan hilir), seperti industri barang modal (mesin), dan alat-alat produksi yang relatif kuat akan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara yang hanya memiliki industri-industri hilir atau ringan, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan dan minuman. Alasannya, kalau sudah ada industri-industri hulu dan tengah yang kuat, jauh lebih mudah bagi negara bersangkutan untuk membangun industri-industri hilir dengan tingkat diversifikasi produksi yang tinggi

dibandingkan negara-negara yang belum mempunyai industri-industri hulu dan tengah.

(2)    Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat PN riil per kapita. Pasar dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang (walaupun tingkat pendapatan per kapita relatif rendah dibandingkan negara-negara lain), merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam proses produksi (dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lainya mendukung). Jika pasar domestikkecil, maka ekspor merupakan alternatif satu-satunya untuk mencapai produksi optimal. Namun, tidak mudah melakukan ekspor, terutama pada awal industrialisasi.

(3)   Ciri industrialisari. Yang dimaksud di sini adalah antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti misalnya tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif kepada investor.

(4)   Keberadaan SDA. Ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan lebih lambat dibandingkan negara-negara yang miskin SDA.

(5)    Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrumen-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku dan komponen-komponen tertentu, pinjaman dengan suku bunga murah, dan export processing zone atau daerah bebas perdagangan) yang digunakan dan cara implementasinya. Pola industrialisasi di negara yang menerapkan kebijakan substitusi impor dan kebijakan perdagangan luar negeri yang protektif (seperti Indonesia terutama selama pemerintah Orde Baru hingga krisis terjadi) berbeda dengan di negara yang menerapkan kebijakan promosi ekspor dalam mendukung perkembangan industrinya (misalnya Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan).


C. PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR NASIONAL
    Sesuai sifat alamiah dari prosesnya, industri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu industri primer atau hulu yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku siap pakai,dan industri skunder yang membuat barang-barang modal,barang-barang setengah jadi dan alat produksi. Derajat dari industrialisasi di suatu negara dicerminkan oleh tingkat pembangunan industri primer dan skunder. Tingkat pembangunan sektor industri tidak hanya diukur dari presentase pertumbuhan output-nya atau pangsa output-nya tetapi juga oleh tingkat diversifikasi produksinya atau variasi dari barang yang dibuat, baik menurut jenis pengertian ( barang  konsumsi, modal, setengah jadi, alat-alat produksi atau bahan baku yang diolah), atau menurut kandungan T-nya (rendah menengah atau tinggi). Namun demikian, walaupun suatu negara memiliki industri primer yang besar ( variasi produknya banyak ),tetapi lemah dalam industri sekunder, maka belum dapat dikatakan bahwa tingkat industrialisasi di negara tersebut sudah tinggi.bahkan, di banyak literatur mengenai industrialisasi, perhatian lebih banyak diberikan kepada industri manufaktur.

1.      Pertumbuhan  Output
         Pada masa sebelum krisis ekonomi di Asia Tenggara, misalnya periode 1970-1995, industri manufaktur dari kelompok LDCs tercatat mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pertumbuhan yang tinggi ini disebabkan terutama oleh permintaan eksternal yang kuat dengan X dari produk-produk manufaktur tercatat tumbuh sekitar 9,3% rata pertahun selama periode yang sama. Di dalam kelompok ASEAN, proses industrialisasi juga berlangsung pesat sejak 1970-an, khususnya di empat negara, yakni Singapura, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Selama seperempat abad terakhir ini hingga krisis ekonomi terjadi, output dari industri manufaktur di empat negara ASEAN tersebut mengalami pertumbuhan pesat di atas rata-rata LDCs; walaupun masih lebih rendah dibandingkan jepang dan belakangan ini juga cina. Di antara keempat negara tersebut indonesia paling terlambat memulai industrialisasinya, yaitu awal 1970-an, sejak dimulainya pelita.


2.      Pendalaman Struktur Industri
 
         Dalam proses pembangunan ekonomi jangka panjang, transpormasi struktural yang terjadi di dalam ekonomi dan dimotori oleh proses industrialisasi bukan hanya dalam bentuk pergeseran pusat kekuatan ekonomi dari pertanian ke industri; tetapi juga mencangkup pergeseran struktur industri, sehubungan dengan faktor-faktor keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh negara bersangkutan. Perubahan struktur industri tersebut didorong oleh banyak faktor, baik dari sisi AD maupun sisi AS (produksi). Dari sisi dan dari sisi produksi adalah terutama perkembangan T, peningkatan kualitas SDM, dan penemuan material-material baru untuk produksi. Akibat dari faktor-faktor ini, pusat kegiatan industri bergeser dari produksi yang bersifat padat-L dan berteknologi rendah ke produksi yang lebih padat-K dan berteknologi tinggi.

Pengertian dari struktur industri bisa dalam berbagai arti: beragam jenis atau kelompok barang menurut sifat atau penggunaannya, misalnya barang modal atau mesin versus barang konsumsi, atau barang-barang konsumsi sederhana atau teknologi rendah seperti makanan dan minuman, rokok, pakaian jadi, alas kaki, dan lain-lain versus barang-barang konsumsi yang lebih kompleks atau berteknologi tinggi dan bersifat tahan lama seperti kendaraan bermotor, Tv, kulkas, komputer, dll. Jenis kandungan inputnya, misalnya produk dari kategori proses produksi yang padat modal dengan kandungan T dan ilmu pengetahuan yang tinggi versus produk-produk dari kategori proses produksi yang padat L dengan T sederhana; atau menurut orientasi pasar: barang-barang untuk pasar domestik versus barang-barang ekspor. Jadi, struktur industri manufaktur erat kaitannya dengan tiga hal, yakni tingkat diversifikasi produk, intensitas pemakaian faktor-faktor produksi, dan orientasi pasar. Seperti di negara-negara ASEAN lainnya, industri manufaktur di indonesia juga mengalami suatu proses transformasi atau yang umum disebut pendalaman struktur industri atau diversifikasi produk yang juga cukup mengesankan. Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pendalaman struktur industri. Di dalam studinya, Aswicahyono (1996) menggunakan indeks perubahan struktur (IPS), yan g di hitung sebagai ∥Dimana ai adalah pangsa imdustrii dalam NT industri manufaktur; 1 dan 2  menunjukan periode awal dan akhir. Bila tidak ada perubahan struktur sama sekali, maka I = 0, sebaliknya bila  industri manufaktur mengalami perubahan, maka I akan mendekati 1.

     Indikator lain yang umum digunakan untuk mengukur struktur industri adalah distribusi dari jumlah unit produksi (perusahaan) yang ada di dan total NO atau NT dari sektor industri menurut kelompok industri (subsektor). Semakin banyak subsektor industri, menandakan semakin  dalam struktur industri atau semakin tinggi derajat diversifikasi produksi. Semakin dominan kelompok-kelompok industri yang membuat barang-barang berbobot T tinggi, seperti industri mesin dan otomotif, dalam pembentukan NO atau NT, mencerminkan semakin maju sektor industri manufaktur

    Studi lain yang juga menarik untuk dibahas disini yang membandingkan perubahan struktural dan tingkat deversifikasi industri  manufaktur di Indonesia dengan di negara-negara lain adalah dari UNINDO (2000a). Perubahaqn struktural dan tingkat diversifikasi sering juga digunakan untuk mengukur kinerja dari sektor industri manufaktur. Perubahan struktural di hitung sebagai berikut.  Cm = (  Si1 – Si2 ) /2

Dimana Cm adalah derajat dari perubahan struktural, dan si1 dsn si2  adalah pangsa NT dari subsektor atau jenis industri di dalam total NT dari industri manufaktur masing-masing di tahun awal dan tahun akhir dalam data harga konstan.

Sedangkan tingkat deversifikasi dapat dihitung sebagai berikut.

Dm = [  (Si x In Si) / (In m)] x 100

Dinama Dm adalah derajat dari deversifikasi output; si adalah pangsa dari subsektor atau jenis industri i di dalam total NT dari sektor industri manufaktur; m adalah jumlah dari semua subsektor atau jenis industri di sektor tersebut; dan In adalah natural logarithm. Nilai dari variabel tersebut diasumsikan 100 apabila pangsa-pangsa NT dari semua subsektor sama, dan 0 jika semua produksi disektor industri manufaktur terkonsentrasi di satu jenis industri.


3.      Tingkat Teknologi dari Produk-Produk Manufaktur 

         Untuk mengkaji dan membandingkan kemampuan T dari produksi di negara-negara berbeda, industri-industri manufaktur dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori. Kategori pertama adalah industri-industri berteknologi tinggi, seperti alat-alat perkantoran, termasuk komputer, obat-obatan barang-barang elektronika untuk konsumen ( ternmasuk bagian-bagiannya ), alat-alat komunikasi, kendaraan bermotor, dan alat-alat transportasi lainnya ( termasuk komponen-komponennya), mesin-mesin dan produk-produk dari bahan kimia. Kategori kedua terdiri dari industri-industri dngan T menengah, seperti produk-produk dari plastik dan karet, produk-produk logam sederhana, penyulingan minyak dan produk-produknya, dan produk-produk mineral bukan logam. Kategori ketiga adalah industri-industri dengan T rendah seperti kertas dan percetakan, tekstil, pakaian jadi, makanan, minuman, rokok, produk-produk dari kayu, dan mebel.

Cara lain untuk mengukur tingkat T di dalam produksi manufaktur adalah dengan melihat perubahan komposisi NT dari sektor tersebut menurut intensitas faktor. Intensitas dalam pemakaian faktor produksi berbeda antar industri karena terdapat perbedaan terutama dalam T yang digunakan. Misalnya, industri makanan atau industri tekstil lebih padat L dibandingkan industri barang modal. Dengan menggunakan pendekatan analisis ini, hasil studi dari james (1996) menunjukkan bahwa walaupun X manufaktur indonesia didominasi oleh produk-produk sederhana, namun X dari barang-barang yang lebih padat  T tinggi dan SDM dengan pendidikan / keterampilan tinggi seperti bahan-bahan kimia, barang-barang elektronik, dan mesin-mesin listrik mengalami peningkatan yang cukup pesat.


4.      Ekspor 
 
         Kineja eksport (X) dari produk-produk manufaktur  juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator alternatif untuk mengukur derajat pembangunan dari industri manufaktur. Industri disuatu negara dikatakan sudah sangat maju jika laju pertumbuhan X manufakturnya rata-rata pertahun tinggi dan tingkat diversifikasi produk serta pasar / negara tujuannya juga tinggi. Karena ini menandakan tingkat daya saing dari produk-produk manufakturnya tinggi sehingga bisa masuk ke pasar di banyak negara lain. Semakin maju industri manufaktur di suatu negara, semakin dominan X dari sektor tersebut di dalam X total dari negara tersebut.

Studi lain dari Tambunan (2001) yang menunjukkan bahwa perkembangan X manufaktur di indonesia mulai pesat sejak awal tahun 1980-an. Pada periode 1975-1981 porsi X dari industri manufaktur didalam X total masih sangat kecil, hanya sekitar 4%. Tambunan mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut. Walaupun struktur ekspor Indonesia belum begitu naik, namun perlu diakui bahwa sejak pemerintah mengubah kebijakan industrialisasinya pada dekade 1980-an (setelah oil boom kedua berakhir) dari subsitusi impor ke orientasi ekspor, ada perubahan yang positif. Hal ini bisa dilihat darik proporsi ekspor manufaktur didalam total ekspor nasional yang terus meningkat.

e. Ketergantungan pada Impor
   M barang-barang manufaktur juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan di sektor industri. Hipotesisnya adalah: semakin maju industri di suatu negara semakin rendah tingkat ketergantunga negar tersebut terhadap barang-barang manufaktur. Walaupun harus diakui bahwa dalam era globalisasi ini, tidak ada satu negar pun yang bisa 100% memenuhi kebutuhan pasar domestiknya untuk barang-barang manufaktur, baik untuk konsumsi maupun untuk produksi dengan memproduksi sendiri.

     Negara yang industrinya maju, tingkat ketergantungannya relatif lebih rendah atau negara tersebut mempunyai saldo neraca perdagangan manufaktur yang positif, dibandingkan negara yang industrinya belum maju. Indonesia, walaupun X manufaktur terus berkembang, neraca perdagangan Indonesia untuk barang-barang manufaktur terus mengalami defisit, kecuali selama periode 1998-1999 karena M turun drastis akibat depresiasi rupiah dan krisis ekonomi. Defisit dalam saldo perdagangan manufaktur ini adalah suatu konsekuensi dari struktur perdagangan manufaktur Indonesia . Di satu sisi, X manufaktur didominasi oleh produk-produk sederhana yang nilainya di pasar dunia relatif rendah, dan di sisi lain, M manufaktur indonesia didominasi oleh barang-barang berteknologi menengah ke atas.

     Besarnya ketergantungan Indonesia pada M barang-barang manufaktur tidak hanya bersumber dari permintaan akhir (konsumen), tetapi juga permintaan perantara dari sektor-sektor ekonomi di dalam negeri. Data BPS menunjukakkan bahwa permintaan perantara jauh lebih besar dibandingkan permintaan akhir terhadap barang-barang M, yakni lebih dari 50% M total setiap tahunnya. Sebagian besar permintaan perantara untuk M berasal dari industri manufaktur, walaupun persentasenya berbeda menurut subsektor. Hasil studi dari UNIDO (2000a) menunjukkan bahwa ketergantungan M dari subsektor-subsektor yang proses produksinya berbasis T menengah ke atas lebih tinggi dibandingkan kelompok-kelompok industri yang membuat barang-barang berteknologi rendah seperti kayu dan produk-produknya, makanan, minuman, dan tembakau.

     Di antara sektor-sektor ekonomi domestik, industri manufaktur adalah sektor yang sangat tergantung pada M terutama komponen-komponen dan mesin-mesin. Hal ini erat kaitanya dengan kenyataan bahwa banyak industri di dalam negeri adalah industri perakitan barang-barang subsitusi M, yang berarti sangat tergantung pada M dari negara yang menghasilkan barang-barang tersebut. Tingkat ketergantungan M dari industri-industri perakitan akan semakin tinggi apabila belum ada industri-industri lokal yang bisa membuat komponen-komponen yang diperlukan bisa menggantikan komponen-komponen M.


D. PERMASALAHAN


1. Keterbatasan Teknologi dan SDM 
    Secara umum, industri manufaktur di LCDs relatif masih terbelakang dibandingkan dengan di DCs; walaupun diantara LDCs ada sejumlah negara tertentu yang industrinya sudah sangat maju seperti NICs dan ASEAN. Relatif  masih terbelakangnya sektor industri di LCDs disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah keterbatasan T dan rendahnya kualitas SDM. Kualitas SDM dapat juga di ukur dengan lamanya sekolah rata-rata tahun pendidikan yang dialami oleh masyarakat dari kategori umur tertentu di negara tersebut. Di dalam studinya, Hill (2002) menunjukkan bahwa rata-rata tahun pendidikan yang dinikmati oleh masyarakat dari katergori umur 25 Tahun ke atas di indonesia paling pendek dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya, yakni di bawah 5 tahun. Ini menandakan bahwa jumlah penduduk indonesia, terutama dengan diploma pendidikan tinggi di atas sarjana (S-1) lebih sedikit dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya. Rendahnya kualitas SDM di indonesia salah satunya disebabkan oleh terbatasnya dana pembangunan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan sebagai suatu persentase dari PDB di indonesia adalah yang terkecil dibandingkan negara-negara lainyang masuk di dalam sampel.


 2. Masalah-Masalah Struktural dan Organisasi
     UNIDO (2000) dalam studinya mengelompokkan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kelemahan-kelemahan yang bersifat struktural dan yang bersifat organisasi. Kelemahan-kelemahan  struktural di antaranya adalah sebagai berikut.


(i)     Basis ekspor dan pasarnya yang sempit. 
        Walaupun Indonesia memiliki banyak SDA dan jumlah L yang berlimpah yang merupakan dua faktor utama keunggulan komporatifnya, namun produk dan pasar X Indonesia sangat terkonsentrasi (tingkat diversifikasi X menurut pasar tujuan rendah):

- empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil, dan alas kaki bersama-sama memiliki pangsa 50% dari nilai total X manufaktur;

- pasar untuk tekstil dan pakaian jadi sanagt terbatas hanya  ke negara-negara yang menerapkan kuota (the Multifibre Agreement, atau MFA) seperti AS, masyarakat Eropa (ME), Kanada, Norwegia, dan Turki;

- tiga negara yakni AS, Jepang, dan Singapura  menyerap sekitar 50% dari nilai X total manufaktur Indonesia, sementara AS sendiri menyerap hampir setengah dari nilai X total dari tekstil dan pakaian jadi;

 - sepuluh produk menyumbang sekitar 80% dari seluruh hasil X manufaktur. X manufaktur Indonesia menjadi sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan permintaan terhadap produk-produk tersebut di pasar yang terbatas.

- banyak produk-produk manufaktur yang padat L, terpilih sebagai X unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia sebagai akibat dari persaingan yang semakin ketat, terutama dari Cina dan negara-negara produser lainnya di Asia yang bisa menghasilkan barang sama dengan biaya  produksi yang lebih rendah, negara-negara Eropa Timur di pasar Eropa Barat dan negara-negar Amerika Latin untuk pasar Amerika Utara. Produk-produk X Indonesia juga mengalami permintaan yang tidak elastis di pasar di negara-negara industri maju;

- banyak produk-produk manufaktur yang merupakan X tradisional Indonesia mengalami penurunan daya saing, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, bukan faktor-faktor internal seperti upah L yang naik.

(ii)   Ketergantungan pada M yang sangat tinggi.
Sejak tahun 1990, indonesia telah banyak menarik investasi asing (PMA) di industri-industri berteknologi tinggi, seperti farmasi, kimia, elektronik, alat-alat listrik, otomotif. Namun, kebanyakan dari industri-industri tersebut bukan merupakan proses manufaktur dalam arti yang sebenarnya, tetapi proses penggabungan, pengepakan dan assembling, dengan hasil:

-  industri-industri padat karya sangat tergantung pada M bahan baku, input perantara  dan komponen mulai dari 40%-43% di industri-industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, hingga 56% di industri-industri alas kak. Ketergantungan ini disebabkan oleh tidak adanya suplai domestik dan   industri-industri pendukung serta lemahnya keterkaitan produksi antar industri di dalam negri;

-  ketergantungan pada PMA juga telah membuat proses peningkatan kemampuan perusahaan-perusahaan lokal dalam proses manufaktur dan kemampuan untuk mengembangkan produk dengan merek sendiri serta membangun jaringan pemasaran sendiri berjalan lambat.

(iii)  Tidak adanya industri berteknologi menengah 
        Kelihatannya pola industrialisasi di indonesia berbeda di negara-negara lain yang derajat industrialisasinya relatif sama:

- kontribusi dari industri-industri berteknologi menengah ( termasuk karet dan plastik, semen, logam dasar, dan barang-barang sederhana dari logam) terhadap pembangunan sektor industri manufaktur menurun antara tahun 1985 dan 1997. Pola seperti ini boleh dikatakan unik bagi indonesia, sejak hampir semua negara di Asia dan belahan dunia lainnya memperttahankan keberadaan industri-industri dari kategori ini di dalam total output manufaktur mereka.

(iv)  Konsentrasi Regional
        Industri-industri skala menengah dan besar sangat terkonsentrasi di jawa dan khususnya di jabotabek. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai macam insentif, kegiatan produksi manufaktur tetap saja terpusatkan di jawa. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1997 pangsa kesempatan kerja dan NT di industri manufaktur yang dimiliki jakarta dan jawa barat naik hingga sekitar 50% dari total nasional.

Sedangkan kelemahan-kelemahan organisasi di antaranya adalah antara lain sebagai berikut:

(i)     Industri skala kecil dan menengah (IKM) masih terbelakang         Kontribusi IKM terhadap pembentukan NT manufaktur relatif kecil, sedangkan terhadap kesempatan kerja sangat besar. Hal ini mencerminkan rendahnya kesempatan kerja sangat besar

(ii)   Konsentarsi Pasar
        Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dapat di jumpai di banyak segmen/ subsektor manufaktur.

(iii)  Lemahnya kapasitas untuk menyerap dan mengembangkan T. 
       Transformasi industri selama pemerintahan Orde Baru terutama oleh strategi-strategi bisnis dan hubungan-hubungan internasional dari konglomerat-konglomerat di Indonesia.

(iv)  Lemahnya SDM
       Fakta menunjukan bahwa hingga kini sebagian besar L di indonesia masih berpendidikan rendah. Insinyur-insinyur yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi didalam negri, yang jumlahnya masih jauh lebih banyak daripada lulusan luar negri tidak semuanya berkualitas baik, yang bisa bekerja secara mandiri, memiliki keahlian dalam pemecahan permasalahan, menganalisis masalah teknis, dan lain-lain, dan kreatif serta mampu melakukan R&D.

E. STRATEGI  PEMBANGUNAN  SEKTOR  INDUSTRI 

    Dalam melaksanakan industrialisasi, ada dua pilihan strategi, yakni strategi subsitusi impor (SI) atau strategi promosi ekspor (PE). Strategi SI sering disebut kebijakan inward-looking, yakni strategi yang memfokuskan pada pengembangan industri nasional yang berorientasi kepada pasar domestik. Sedangkan PE disebut kebijakan outward-looking, yakni strategi yang memfokuskan pada pengembangan industri nasional lebih berorientasi ke pasar internasional.

1.      Strategi SI 
         Hampir semua LDCs memulai industrialisasinya mereka dengan strategi SI, terutama di Amerika Latin dan Asia selatan, timur dan Tenggara.

Beberapa pertimbangan yang lazim digunakan dalam memilih strategi ini terutama adalah:
(i)    SDA dan faktor produksi terutama L cukup tersedia di dalam negri. Sehingga, secara teoretis, biaya produksi yang intensitas penggunaan sumber-sumber ekonomi tersebut tinggi bisa rendah;
(ii)   Potensi permintaan di dalam negri yang memadai;
(iii)  Untuk mendorong perkembangan industri manufaktur di dalam negri;
(iv)   Dengan berkembangnya industri di dalam negri, maka kesempatan kerja diharapkan terbuka lebih luas; 
(v)    Dapat mengurangi ketergantungan terhadap M, yang berarti juga mengurangi devisit saldo neraca perdagangan dan menghemat cadangan devisa.

2.       Strategi PE 
          Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi SI, badan-badan dunia seperi IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar LDCs menerapakn strategi PE. Sesuai teori klasik mengenai perdagangan internasional, strategi berorientasi keluar ini melibatkan pembangunan industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang merupakan dasar strategi PE menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, diskriminasi dalam penggunaan tarif, kuota, lisensi I, subsidi pajak, dan kredit serta instrumen-instrumen lainnya yang sering di terapkan dalam strategi SI, tidak cocok digunakan dalam strategi PE.     


3.      Kebijakan Industri Pasca Krisis Ekonomi 

         Salah satu sektor ekonomi didalam negeri yang sangat tepukul oleh krisis ekonomi adalah industri manufaktur. Masuknya IMF ke Indonesia dalam usaha membantu Indonesia untuk keluar dari krisis tersebut telah membawa suatu perubahan besar didalam kebijakan industrialisasi dai dalam negeri.

 Industri yang mendapatkan prioritas adalah industri yang selain padat L juga mempunyai potensi (X) yang besar berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada.

 Untuk mendukung kebijakan pemerintah telah menerapkan sutau strategi pengembangan strategi dengan pendekatan clustering : setiap industri mempunyai keterkaitan produksi ke depan yang kuat dengan industri lain atau/dan sektor-sektor ekonomi lainnya.





Sumber:

-          Tambunan, Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996

1 komentar:

  1. Jika Anda melihat skenario saat ini sehubungan dengan hibah untuk ekspansi usaha kecil, pemerintah federal sebenarnya tidak menawarkan hibah langsung. Namun demikian, ada beberapa program oleh pemerintah, di mana hibah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan yang mungkin dilakukan oleh usaha kecil disediakan oleh SBA. Kemudian ada hibah tidak langsung dalam bentuk jaminan pinjaman usaha kecil serta pinjaman bersubsidi, di mana Anda mendapatkan pinjaman dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari bank karena pemerintah membayar sebagian dari pinjaman Anda. Atau jika Anda gagal membayar pinjaman Anda, pemerintah membayar bank atas nama Anda. Seperti yang Anda lihat, ada banyak peluang untuk pendanaan usaha kecil dan hibah melalui Mr Pedro dan perusahaan pendanaannya. Mereka menawarkan pinjaman pada tingkat 2% yang sangat terjangkau. Sebagai pemilik bisnis pemula, Anda hanya perlu berusaha untuk menemukan yang paling sesuai dengan tujuan bisnis Anda.
    Hubungi Tuan Pedro di pedroloanss@gmail.com / Teks WhatsApp: +1 863 231 0632 untuk pinjaman.
    Semua yang terbaik!

    BalasHapus