Kamis, 07 April 2011

BAB 6. PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH


PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

PENDAHULUAN
            Menurut Barzelay dalam Kusaini (2006:62) Pemberian Otonomi daerah melalui Desentralisasi fiskal dam kewenangan daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :

1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

            Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang memberi hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya. Jika dilihat dari sisi kualitasnya ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan maupun kesenjangan ekonomi/ pendapatan antardaerah/ provinsi.

A.    DISTRIBUSI PDB NASIONAL MENURUT PROVINSI
      Distribusi PDB nasional menurut wilayah atau provinsi merupakan indikator utama diantara indikator-indikator lain yang umum digunakan untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. PDRB yang relatif sama antar provinsi memberi suatu indikasi bahwa distribusi PDB nasional relatif merata antar provinsi, yang berarti kesenjangan ekonomi antar provinsi relatif kecil. Atau dapat dikatakan bahwa semakin besar perbedaan dalam pangsa PDB nasional antar provinsi, semakin besar ketimpangan dalam pembangunan ekonomi antar provinsi.
    Salah satu fakta yang memperhatinkan adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti DI Aceh, Riau dan kalimantan Timur lebih kecil lagi. 

B.      PDRB RATA-RATA PER KAPITA DAN TREN PERTUMBUHANNYA
       Karena tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan kesrejahteraan masyarakat, dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata per kapita, maka distribusi PDB nasional menurut provinsi menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan dalam pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per kapita.
   Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan sebaliknya di bawah 2 juta rupiah dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per kapita tinggi jika di atas 3% (dibandingkan tahun sebelumnya), dan rendah jika lebih kecil  dari 3%, provinsi-provinsi di Indonesia dapat dikelompokan ke dalam 4 kelompok. Provinsi-provinsi yang PDRB per kapita rendah, namun tingkat pertumbuhannya tinggi (kelompok 1) adalah kalimantan Barat , Jawa Timur, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, DI Aceh, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi-provinsi yang PDRB per kapita dan pertumbuhannya tinggi (kelompok 2) adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, kalimantan Selatan, Bali, Riau, dan Sumatra Utara. Sbagian besar dari provinsi-provinsi di dalam dua kelompok ini adalah daerah-daerah di Indonesia yang kaya SDA, SDM dan relatif baik dalam  penyediaan infrastruktur fisik. Yang masuk dalam kelompok 3, yakni PDRB per kapita tinggi tetapi tingkat pertumbuhannya rendah hanya Irian Jaya. Tingginya PDRB per kapita di provinsi ini disebabkan oleh adanya enclave pertambangan nonmigas (freeport). Provinsi-provinsi lainnya masuk ke dalam kelompok 4, yakni PDRB per kapita dan pertumbuhan rendah.
     Dari pengelompokkan tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya suatu polarisasi dari segi total produksi (PDRB) dan tingkat pertumbuhannya. DKI Jakarta dan Provinsi-Provinsi lainnya di kelompok 2 adalah wilayah-wilayah di Indonesia dengan tingkat pendapatan per kapita dan pertumbuhannya yang tinggi dibandingkan provinsi-provinsi di tiga kelompok lainnya itu. Yang sangat memperhatinkan adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa DI Aceh yang merupakan daerah pengekspor gas terbesar di dunia termasuk di dalam kategori wilayah dengan tingkat pendapatan per kapita rendah, walaupun pertumbuhannya tinggi.
    Sejak 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional di Indonesia  yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antarprovinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, disusul kemudian oleh antara lain Hughes dan Islam (1995), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan  Khan (1986), Akita (1988), Akita dan Lukman (1995), Tambunan (1996,2001), Takeda dan Nakata (1998), Sjafrizal (1997-2000), dan Booth (2000). Walaupun data yang dipakai sama, yakni PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antarstudi. Misalnya, Sjafrizal menganalisis ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat (IKB) dan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dan perbedaan dalam ketimpangan antarprovinsi antara kedua kawasan tersebut dengan memakai indeks Williamson yang disebut weighted coefficient of variation (WCV). Indeksini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut.
        WCV =  [ Yi – Y) 2Ni /N] / Y                   0<WCV<1
Dimana
 Yi   =    pendapatan per kapita provinsi i ;
 Y   =    pendapatan per kapita nasional, atau rata-rata PDRB per kapita untuk                                                                                                                                           semua provinsi ;
N i  =   jumlah penduduk di provinsi i;
N   =   jumlah populasi nasional
     Nilai indeks ini antara 0 dan 1 . Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut provinsi sangat merata (atau variasi PDRB per kapita antarprovinsi sangat kecil), dan sebaliknya bila mendekati 1 berarti tingkat disparitassangat tinggi.
     Dengan memakai data PDBR tanpa migas untuk periode 1971-1993hasil studinya tahun 1997 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antarprovinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 paling rendah hingga 0,392 paling tinggi. Disamping itu,sejak 1990 mulai terlihat adanya tendensi menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara terendah 0,396 hingga tertinggi 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di IKB.
    Studi empiris lainnya dari Bojonegoro (1999) dan Mahi (2000a). Berdasarkan hasil dari dua studi tersebut, tabel 4.5 menyajikan provinsi-provinsi yang PDRB per kapitanya 2 juta rupiah atau lebih selama periode yang diteliti. Indeks Williamson tahun 1995 tercatat sebesar 0,716, kemudian menurun sedikit  yang menandakan terjadi perbaikan. Krisis ekonomi tahun 1997 membuat indeks ini kembali memburuk menjadi 0,713.



Tabel 4.5
Provinsi-Provinsi dengan Tingkat PDRB Per Kapita
(Menurut Harga Konstan) Per Kapita 2 Juta Rupiah
dan Lebih: 1995, 1996, dan 1997
Provinsi
1995
1996
1997
DI Aceh
Sumatra utara
Riau
DKI Jakarta
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Bali
Irian Jaya
Vw

2,908

4,816
6,655
2,218

7,898
2,280
3,156
0,716
2,906
2,097
4,882
7,083
2,394
2,012
8,147
2,442
3,437
0,709
2,850
2,153
4,946
7,376
2,537
2,100
8,849
2,559
3,541
1,713

Sumber: dari Tabel 1 dalam Mahi (2000a)  
    Tadjoeddin dkk.(2001) menganalisis ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagreget dengan memakai data kabupaten /kota tahun 1996, menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers).
    Seperti yang dijelaskan di Tadjoeddien dkk. (2001) sebagai berikut. Pertama, nilai minyak dan gas bumi dikeluarkan dari PDRB semua kabupaten/kota, dan output pertambangan dikeluarkan dari PDRB kabupaten Fakfak. Setelah itu, angka PDRB per kapita menurut kabupaten kota tersebut di urutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Ternyata, 13 kabupaten kota teratas memiliki nilai PDRB per kapita yang sangat tinggi. Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki kekhususan dalam hal karakteristik ekonominya yang bisa digolongkan menjadi daerah kantong industri, perdagangan, dan jasa . oleh karenanya, pada langkah kedua ke 13 kabupaten/kota tersebut dikeluarkan dari analisis.
Tadjoedien dkk. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan antarindividu di dalam provinsi dan ketimpangan pendapatan antarprovinsi, dengan indeks Theil dan Indeks L. Hasilnya juga menunjukan kecenderungannya yang sama : adanya migas dan daerah daerah kantong memperparah ketimpangan regional di Indonesia. Bahwa berdasarkan dua indeks ini, kontribusi dari daerah kantong terhadap total indeks ketimpangan regional mencapai 60% hingga 70%.
Saldana (2003), proses mengejar ketinggalan juga bisa terjadi bila varian relatif di sekitar rata-rata produktivitas makin turun dari waktu ke waktu karena terjadinya pertumbuhan lebih cepat di wilayah-wilayah yang tadinya tertinggi. Abramovitz (1986) juga berpendapat bahwa jika perbedaan produktivitas relatif mengecil dari waktu-kewaktu, konvergensi juga akan terjadi.
Penelitian mengenai konvergensi di Indonesia dapat dikatakan masih sangat terbatas. Di antaranya adalah dari Saldanha (2003). Dalam penelitiannya untuk periode antara 1971-1994 Saldanha menggunakan tiga ukuran konvergensi, yaitu konvergensi-s,konvergensi-a,dan konvergensi-b, serta lima variabel yakni tingkat PDRB per kapita (atau PDB per kapita menurut provinsi) pada periode awal, pertumbuhan PDRB per kapita, anggaran belanja pemerintah per kapita, tingkat partisipasi sekolah menengah pertama (SMP) per kapita, dan angka harapan hidup. Konvergensi-s diindikasikan oleh penurunan deviasi standar dari PDRB per kapita. Jika standar dari PDRB perkapita turun dari wuktu ke waktu, maka konvergensi-s telah terjadi dan implikasinya adalah bahwa perbedaan PDRB per kapita antar provinsi telah mengecil. Menurut Saldanha (2003), penurunan deviasi standar maupun dispersi PDRB per kapita telah terjadi di Indonesia, paling tidak selama periode yang diteliti.

Tabel 4.10
Konvergensi-s Dalam Laju Pertumbuhan PDRB
Per kapita Antarprovinsi : 1971-1994
Tahun
Konvergensi-o(deviasi standar)
CV** (Dispersi)
1971
1975
1980
1985
1990
1`994
0,2082
0,1988
0,1914
0,1774
0,1753
0,1604
0,0661
0,0573
0,0533
0,0481
0,0463
0,0405

Keterangan :*) mencakup 26 provinsi;**) CV (koevisien variasi) = deviasi standar dibagi rata-rata yang mengukur dispersi
Sumber: Tabel 1.1 di Saldanha (2003)

C.     KONSUMSI RUMAH TANGGA PER KAPITA ANTAR PROPINSI
       Pengeluaran konsumsi C rumah tangga (RT) per kapita per propinsimerupakan salah satu indikator alternatifyang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraanpenduduk antarprovinsi.
Hipotensinya adalahsebagai berikut. Semakin tinggi pendapatan per kapitadi suatu daerah, semakin tinggi pengeluaran C per kapita di daerah tersebut.
Tentu dengan du asumsi: sifat menabung (S) dari masyarakat tidak berubah (rasio Sterhadap PDRB tetep tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam pengeluaran C RT juga konstan. Tanpa kedua asumsi ini, tinggi-rendahnya pengeluaran C RT  tidak selalu mencerminkan tinggi - rendahnya tingkat pendapatan per kapita di daerah tersebut. DENGAN memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per kapita, studi dari ECONIT (1999) menemukan adanya suatu polarisasi dalam distribusi C RT perkapita antarprovinsi. Sebagian besar provinsi di indonesia memiliki tingkat C RT per kapita yang rendah, yang dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari kenyataan bahwa hanya sebagaian kecil wilayah di indonesia yang menikmati hasil pembangunan ekonomi.
Selin perbedaan dalam tingkat pengeluaran C per kapita dan distribusinya menurut kelompok penduduk per provinsi, seprti yang telah di bahas si atas, variasi dalam pola C masyarakat antarprovinsi. Yang dimaksud dengan pola C adlah alokasi persentase pengeluaran untuk memenuhi C makanan vis-a-vis nonmakanan. Bila alokasi persenatsenya semakin mengecil menandakan kesejahteraan penduduk semakin hasil penghitungan  BPS , ternyata selama 1990-an alokasi persentase pengeluaraan c untuk makanan memperlihatkan besaran yang cenderung semakin naik,tidak hanya secara nasional, tetapi juga setiap provinsi;walaupun dengan laju yang berbeda antarprovinsi. Artinya, pada akhir tahun 1990-an, tingkat kesejahteraan penduduk secara nasional maupun provinsi mengalami penurunan.
D.    INDEKS PEMBSNGUNAN MANUSIA
      Indeks pembangunan manusia (IPM),atau dikenal dengan sebutan human development index (HDI) adlah indikator yang dgunakan intuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan kualitas dari hasil pembangunan ekonomi, yakni derajat pembangunan manusia. IMP adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator, yakni (a) kesehatan; (b) pendidikan yang dicapai,dan (c) standar kehidupan.  Jadi, jelas bahwa tiga unsur ini sangat penting dalm menentukan tingkat kemampuan suatu provinsi untuk meningkatkan IPM-nya. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan kesempatan kerja, yang pada gilirannya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah. Jadi, IPM di suatu provinsi akan meningkat apabila ketiga unsur tersebut dapat ditingkatkan, dan nilai IPM yang tinggi menandakan keberhasilan pembangunan ekonomi di provinsi tersebut.
E.      TINGKAT KEMISKINAN
       Presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan juga bagus digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi anatardaerah. Kalau dilihat distribusi dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih dari 55%-nya terdapat di pulau Jawa memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk yang memang di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan di provinsi-provinsi lain di tanah air. Fakta ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk (jumlah penduduk dibagi luas wilayah) dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2 , atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau lokasi untuk untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Hipotesa ini bisa bear dengan asumsi bahwa mobilisasi penduduk antardaerah tidak tinggi.
F.       KONTRIBUSI SEKTORAL TERHADAP PDRB
       Perbedaan tingakat pembangunan antarprovinsi dapat juga dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Secara hipotesis dapat dirumuskan bahwa semakin besar peran dari sektor-sektor ekonomiyang memiliki NT tinggi, seperti industri manufaktur terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi pertumbuhan PDRB diwilayah tersebut.
    Sektor-sektor ekonomi dapat dikelompokan ke dalam tiga kategori, yakni primer, sekunder, dan tersier. Yang termasuk sektor-sektor primer adalah pertambangan (termasuk penggalian) dan petanian; sekunder adalah industri manufaktur, listrik, gas, dan air bersih, serta bangunan; dan sektor-sektor lainnya adalah sektor-sektor tersier. Diukur dengan nilai tambah, sektor-sektor sekunder adalah sektor-sektor dengan nilai tambah terbesar ,khususnya karena kontribusi dari industri manufaktur; sedangkan terendah adalah sektor-sektor primer.
G. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN
     Sudah cukup banyak studai yang menganalisis faktor-faktor penyebab ketimpangan ekonomi anatarprovinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Aziz (1989), Hill dan Williams (1989), Sondakh (1994), Ibrahim (1974), Uppal dan Handoko (1988), Arsyad (1999), Akita dan Lukman (1999), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari smua studi-studi tersebut adalah bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antarprovinsi di Indonesia sebagai berikut.

1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
     konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan Orde Barumembuat secara  langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya di IKT. Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediannya infrastruktur dan letak geografis.
     Jadi, ada dua masalah utama dalam pembangunan ekonomi nasional selama ini. Pertama, semua kegiatan ekonomi terpusatkan di daerah tertentu saja, terutama di wilayah Jawa, dengan berbagai alasan, ekonomis maupun politis/strategis. Kedua, yang dimaksud dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Hal terakhir ini disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya, sebagaian besar input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukanya disuplai dari daerah, dan oleh karena itu,keterkaitan produksi ke belakang atau keterkaitan produksi antara industri hilir di Jawa dengan industri hulu di luar Jawa sangat lemah; sektor-sektor primer di daerah-daerah di luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa memprosesnya terlebih dahulu untuk mendapatkan NT, atau kalau memprosesnya terlebih dahulu dilakukan di Jawa sehingga Jawa yang menikmati NT-nya; dan kegiatan X yang bersumber dari daerah di luar Jawa (baik primer maupun dari industri hulu maupun industri tengah) pada umumnya dilakukan via Jawa (Jakarta atau Surabaya), sehingga hasil X lebih banyak dinikmati oleh Jawa. Keadaan di atas apabila terus dibiarkan, maka daerah-daerah di luar Jawa akan semakin rugi, atau dalam bentuk konkretnya akan semakin miskin, karena:
1. derah akan mengalami kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah sendiri untuk keperluan sendiri;
2.  akibat butir (1), daerah akan semakin sulit mengembangkan sektor-sektor nonprimer, khususnya industri manufaktur, atau akan semakin sulit mengubah struktur  ekonominya dari yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri;
3. akibat butir (2), tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah, berarti perkembangan pasar output semakin lemah, yang selanjutnya berarti semakin kecil perkembangan investasi di daerah.

     Faktor-faktor yang menyebabkan sebagian besar dari kegiatan industri di Indonesia tidak di luar Jawa karena keterbatasan-keterbatasan di kawasan  tersebut seperti pasar  lokal kecil, infrastruktur terbatas, serta kurang SDM.
2. Alokasi Investasi
     Indikator lain yang juga menujukan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita  di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seprti industri manufaktur.
     Dapat dibayangkan bahwa bila selama ini memang ada peralihan T, system manajemen dan know-how lainnya dari PMA terhadap ekonomi dan masyarakat lokal, tentu semua itu lebih banyak di nikmati oleh masyarakat dan dunia usaha di Jawa. Oleh karena itu, ketimpangan distribusi I antarprovinsi dapat dianggap sebagai salah satu factor utama yang mengakibatkan  terjadinya ketimpangan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi selama ini antarprovinsi di tanah air.

3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antardaerah
     Kurang lancarnya mobilitas factor produksi, seperti L dan K antaraprovinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antarprovinsi dapat lebih jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Dasar teorinya adalah sebagai berikut. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antarprovinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antarprovinsi sejak perbedaan tersebut, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas (tanpa distorsi yang direkayasa misalnya sebagai akibat dari suatu kebijakan pemerintah), mempengaruhi mobilitas atau (re) alokasi faktor produksi antarprovinsi. Sesuai teori penawaran L yang tak terbatas dari A. Lewis, jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antardaerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik (dalam pengertian optimal pareto : semua daerah menjadi lebih baik daripada sebelum terjadi perpindahan tersebut).
     Kerangakatori di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Pertumbuhan output agregat di suatu provinsi membuat pendapatan agregat di provinsi tersebut meningkat, yang selanjutnya, ceterius paribus, membuat permintaan C di pasar lokal meningkat. Sebagai respon terhadap peningkatan permintaan tersebut, volume produksi lokal meningkat, dengan asumsi bahwa kapasitas produksi tidak terbatas (persediaan faktor produksi dan T tidak terbatas) dan elastisitas pendapatan dari permintaan tidak berubah.

     Perbedaan SDA antarprovinsi
    Dasar pemikiran klasiksering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA. Hingga tingkat tertentu, anggapan ini masih bias dibenarkan, dalam arti SDA harus dilihat hanya sebagai modal awal untuk pembangunan, yang selanjutnya harus dikembangkan terus. Dan untuk maksud ini, diperlukan factor-faktor lain, diantaranya yang sangat penting adalah dan T dan SDM. 

     Perbedaan Kondisi Demografis antar wilayah
      Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antarprovinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepedatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Fektor-fektor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. 

      Kurang Lancarnya Perdagangan Antarprovinsi
     Kurang lancarnya perdagangan antardaerah juga merupakan unsure yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikas. Perdagangan antaraprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, marerial-material lainnya untukproduksi dan jasa. Jadi, tidak lancarnya arus barang dan jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran . dari sisi permintaan, kelangkaan akan barang dan jasa untuk konsumen mempengaruhi permintaan pasar terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya komplementerdengan barang dan jasa tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya mendapatkan barang modal seperti mesin dan alat-alat transportasi, input perantara, bahan baku atau material lainnya dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi lumpuh atau tidak beroperasi secara optimal, yang berarti pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita provinsi tersebut rendah.
H.   TEORI DAN MODEL ANALISIS PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
1. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

a. Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi disektor atau industri disuatu daerah yang menggunakan sumber daya prosuksi (SDP) lokal, termasuk L dan bahan baku dan output –nya dieksport akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi,peningkatan pendapatan per kapita dan penciptaan peluang kerja di daerah tersebut.
b. Teori Lokasi
teori lokasi juga sering digunakan untuk penentuan atau pembangunan kawasan industri di suatu daerah. Inti pemikiran dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha/produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
C. Teori Daya Tarik Industri
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertayakan,jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan)?ini adalah masalah membangun portofolioindustri suatu daerah. Untuk menjawab pertayaan ini , mengikuti metodologi (kerangka pemikiran) dari kotler dkk.(1997), ada sejumlah faktor penentu pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri dari faktor-faktor daya tarik industri dan faktor-faktor daya  daya saing daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain sebagai berikut.
(1)   NT tinggi per pekerja (produktivitaas)
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting tidak haya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga terhadap pembentukan PDRB.
(2)   Industri-industri kaitan
Ini berarti (seperti yang telah dibahas sebelumnya) perkembangan industri –industri tersebut akan meningkatkan total NT daerah, atau mengurangi ‘kebocoran ekonomi’ dan ketergantungan inpor.
(3)   Daya saing di masa depan
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan industri yang bersangkutan.
(4)   Spesialisi industri
Sesuai dasar pemikiran dari teori-teori klasik mengenai perdagangan internasional, suatu daerah sebaiknya berspesialisasi pada industri-industri di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komperatif, dan berarti daerah tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan
(5)   Potensi X
Dasar pemikirannya sama dengan butir 4 atau 3.
(6)   Prospek bagi permintaan domestik
Dasar pemikirannya pada prinsipnya sama seperti butir 1, yakni memberikan suatu kontribusi yang berarti bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah melalui konsumsi lokal.

Sedangkan faktor-faktor penyumbangan pada daya tarik industri dapat dikelompokan ke dalam empat kelompok (Kotler dkk., 1997), yakni sebagai berikut.
(1)   Faktor-faktor pasar
Faktor-faktor ini antara lain ukuran pasar, ukuran segmen, kumci, laju pertumbuhan pasar, keragaman pasar,kepekaan terhadap harga dan eksternal,siklus dan musim, dan kemamapuan tawar menawar.
(2)   Faktor-faktor persaingan
(3)   Faktor-faktor keungan dan ekonomi
(4)   Faktor-faktor T
2. Modal Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Selain daerah-daerah di atas, ada beberapa  metode yang umum digunakan untuk menganalisis posisi realatif ekonomi suatu daerah;salah satu diantaranya adalah metode analisis shift-shre(SS),location quotients, angka pengganda pendapatan,analisis input-output(IO), dan model pertumbuhan Harrod-Domard.
a.      Analisis SS
analisis SS dianggap sebagai teknik yang sangat baik untuk menganalisis perubahan struktur ekonom i daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Metode analisis ini bertitik tolak dari dasar  pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah dipengaruhui oleh tiga komponen yang utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Komponen pertama adalah pangsa dari suatu propinsi dalam pertumbuhan ekonomi nasional, atau disebut komponen pertumbuhan ekonomi nasional atau bangsa regional (PR). Formula untuk menghitung PR dari suatu provinsi untuk sektor tertentu dapat diuraikan sebagai berikut (Akita dan Alisjahbana, 2002)
PRij =qij(  QN/QN)
Di mana:
qij   =  output dari sektor diprovinsi  j pada awal periode;
QN  = PDB pada awl periode; dan
QN = Perubahan PDB.

Komponen kedua adalah pergeseran proporsional atau pergeseran industry mix (PP), yang didasarkan pada pemikiran, bahwa suatu provinsi yang punya pangsa output relatif lebih besar di industri-industri yang tumbuh pesat harus tumbuh lebih cepat daripada nasional secara keseluruhan. PS untuk suatu sektor di suatu provinsi dapat di hitung sebagai berikut.
Ppij = qij [( Qi/Qi)- ( QN/QN)]
Dimana:
Qi = output nasionl disektor i pada awal periode;dan
Q = perubahan output nasional di sektor i.
Komponen ketiga disebut pergeseran daya saing atau pergeseran diferensial (PD) yang menentukan seberapa jauh daya saing dari suatu sektor di suatu provinsi, dibandingkan sektor yang sama secara nasional. PD untuk suatu sektor di suatu provinsi dapat diitung sebagai berikut.
Pdij = qij [(qij /qij) – ( Qi / Qi)]
Dimana : qij = perubahan output  regional (provinsi j) di sektor i
b.      Location quotients (LQ)
LQ adalah suatu teknik yang digunakan untuk memperluas metode analisis sebelumnya (SS), yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sektor di suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi / sektor yang sama pada tingkat nasional.
c.       Angka pengganda pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari  suatu kegiatan ekonomi yang baru atau peningkatan output  dari suatu sektor di daerah tersebut.
K =
Dimana :
MPC = proporsi pendapatan daerah yang dibelanjakan di daerah tersebut
PSY = bagian dari pengeluaran  daerah yang menghasilkan pendapatan daerah tersebut.
d.      Analisis input-output (I-O)
Merupakan salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD. 
e.       Model pertumbuhan Harrod – Domar
Inti dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah suatu relasi jangka pendek antara peningkatan I dan pertumbuhan ekonomi. Secara lengkap model H-O terdiri dari sejumlah persamaan sebagai berikut.
S = s.Y
    Tabungan (S), terdiri dari tabungan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah, merupakan suatu proporsi (s) dari total output atau pendapatan (Y).
I = K
    I didefinisikan sebagai perubahan stok K. Stok K mempunyai hubungan langsung dengan output (Y), seperti yang di tunjukan oleh rasio output modal (COR) atau K:
(K/Y) = K    atau     K = k.Y
Dalam ekonomi yang seimbang ( salah satu asumsi penting dari model H-O ), maka:
S = I
Maka di dapat :
s.Y = K. Y
dan akhirnya pertumbuhan ekonomi (Y/)Y) di tentukan secara bersama oleh rasio tabungan (s) dan rasio output modal (k):  (Y/)Y) = s/k

2.      Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IPM di susun dari tiga komponen: kesehatan atau lamanya hidup (X1), di ukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan (X2), di ukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa ( dengan bobot 2/3) dan rata-rata lam sekolah ( dengan bobot 1/3); dan standar hidup atau tingkat kehidupan yang layak (X3), di ukur dengan pengeluaran per kapita yang telah di sesuaikan (PPP rupiah).


3.      Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
IKM adalah indeks yang merupakan kombinasi dari berbagai dimensi kemiskinan manusia yang di anggap sebagai indikator inti dari ukuran keterbelakangan manusia . indeks ini disusun dari tiga indikator: Indikator pertama di ukur dengan peluang suatu populasi untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun (P1). Indikaator kedua di ukur dengan angka buta huruf penduduk usia dewasa (15 tahun ke atas ) (P2) yang di hitung dari data Supas 1995 dan Susenas 1998.





Sumber :
·         Tambunan, Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996



Tidak ada komentar:

Posting Komentar