Kamis, 24 Maret 2011

BAB 4. SEKTOR PERTANIAN

Pendahuluan
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba untuk membahas mengenai sektor pertanian, adapun pembahasannya yaitu meliputi:A. peran sektor pertanian, B. kinerja dan peran sektor pertanian di Indonesia, C. nilai tukar petani dan D. keterkaitan produksi antara sektor pertanian dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Semoga apa yang saya sajikan bisa bermanfaat bagi kita semua, agar lebih menambah pengetahuan kita mengenai perekonomian di Indonesia dan semoga bisa menumbuhkan semangat kita sebagai generasi penerus untuk menjadikan indonesia sebagai negara yang perekonomiannya semakin maju dan berkembang lebih baik.
    A.Peranan Sektor pertanian
      Mengikuti analisis klasik dari kuznets ( 1964 ), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat (4) bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut.
      Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan outrput di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur ( misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.
      Di negara agraris seperti indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar.
      Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. Menurut teori penawaran tenaga kerja (L) tak terbatas dari Arthur lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembanguan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutkan kontribusi faktor-faktor produksi.
      Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), baik lewat eksport hasil-hasil pertanian maupun dengan  peningkatan produksi pertanian dalam negri menggantikan impor ( substitusi impor ). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.

    1.Kontribusi  Produk
      Kontribusi produk pertanian terhadap PDB dapat dilihat dari relasi antara pertumbuhan dari kontribusi tersebut dengan pangsa PDB awal dari pertanian dan laju pertumbuhan relatif dari produk-produk neto pertanian dan nonpertanian. Jika Pp  = Produk neto pertanian, PNP = Produk neto nonpertanian, dan PN = total produk nasional atau PDB.
      Laju penurunan peran sektor pertanian secara relatif di dalam ekonomi cenderung berasosiasi dengan kombinasi dari tiga hal berikut. Pangsa PDB awal dari sektor-sektor nonpertanian yang relatif lebih tinggi daripada pangsa PDB awal dari pertanian, laju pertumbuhan output pertanian yang relatif rendah, dan laju pertumbuhan output dari sektor-sektor nonpertanian yang relatif tinggi ( yang membuat suatu perbedaan positif yang besar antara pangsa PDB dari nonpertanian dengan pangsa PDB dari pertanian).
      Di dalam sistem ekonomi terbuka, besarnya kontribusi produk terhadap PDB dari sektor pertanian baik lewat pasar maupun lewat keterkaitan produksi dengan sektor-sektor nonpertanian, misalnya industri manufaktur, juga sangat dipengaruhi oleh kesiapan. Sektor itu sendiri dalam menghadapi persaingan dari luar. Dari sisi pasar, kasus indonesia menunjukan bahwa pasar domestik didominasi oleh berbagai produk pertanian dari luar negri, mulai dari beras, buah-buahan,  sayuran, hingga daging. Dari sisi keterkaitan produksi, kasus indonesia menunjukkan bahwa banyak industri seperti industri minyak kelapa sawit (CPO) dan industri barang-barang dari kayu dan rotan sering mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku di dalam negri karena komoditi – komoditi tersebut diekspor dengan harga jual di pasar luar negri jauh lebih mahal daripada dijual ke industri-industri tersebut.

    2.Kontribusi pasar
      Negara agraris dengan proporsi populasi pertanian (petani dan keluarganya) yang besar seperti indonesia merupakan sumber sangat penting bagi pertumbuhan pasar domestik produk-produk dari sektor-sektor nonpertanian, khususnya industri manufaktur. Pengeluaran petani untuk produk-produk industri, baik barang-barang konsumer ( makanan, pakaian, rumah atau bahan-bahan bangunan, transportasi, mebel, dan peralatan rumah tangga lainnya), maupun barang-barang perantara untuk kegiatan produksi ( pupuk, pestisida, alat-alat pertanian) memperlihatkan satu aspek dari kontribusi pasar dari sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi lewat efeknya terhadap pertumbuhan dan deversifikasi sektoral.
      Peranan sektor pertanian lewat kontribusi pasarnya terhadap diversikiasi dan pertumbuhan output sektor-sektor nonpertanian seperti yang dijelaskan di atas sangat tergantung pada dua faktor penting yg dapat dianggap sebagai prasyarat. Pertama, dampak dari keterbukaan ekonomi di mana pasar domestik tidak hanya di isi oleh barang-barang buatan dalam  negeri, tetapi juga barang-barang impor. Di dalam sistem ekonomi tertutup, kebutuhan petani akan barang-barang nonmakanan mau tidak mau harus dipenuhi oleh industri dalam negri. Jadi, secara teoritis ( dengan asumsi bahwa faktor –faktor lain mendukung), efek dari pertumbuhan permintaan di pasar domestik terhadap perkembangan dan pertumbuhan industri domestik terjamin sepenuhnya. Ini berbeda jika sistem ekonomi terbuka, di mana industri dalam negri menghadapi persaingan barang-barang impor. Dengan kata lain dalam sistem ekonomi terbuka, pertumbuhan konsumsi yang tinggi dari petani tidak menjamin adanya pertumbuhan yang tinggi di sektor-sektor nonpertanian.
      Kedua, jenis teknologi yang digunakan di sektor pertanian yang menentukan tinggi rendahnya tingkat mekanisasi atau modernisasi di sektor tersebut. Permintaan terhadap barang-barang produsen buatan industri dari kegiatan-kegiatan pertanian tradisional lebih kecil ( baik dalam jumlah maupun komposisinya menurut jenis barang ) dibandingkan permintaan dari sektor pertanian yang sudah modern.

    3.Kontribusi faktor-faktor produksi
      Ada dua faktor produksi yang dapat dialihakn dari pertanian ke sektor-sektor nonpertanian, tanpa harus mengurangi volume produksi ( produktivitas di sektor pertama. Pertama, L: di dalam teori Arthur lewis dikatakan bahwa pada saat pertanian mengalami surplus L ( di mana MP dari penambahan satu  mendekati atau sama dengan nol ) yang menyebabkan tingkat produktifitas pendapatan rill per L di sektor tersebut rendah, akan terjadi transfer L dari pertanian ke industri. Sebagai dampaknya, kapasitas dan volume produksi dari sektor industri meningkat. Kedua, modal: surplus pasar (MS) di sektor pertanian bisa menjadi salah satu sumber I di sektor-sektor lain. MS adalah surplus produk (Pp) di kali harga jual (Pp):
                                                         MS = PP X PP
      Di mana PP adalah produk yang dijual ke pasar, yakni perbedaan antara output total disektor pertanian (TPP) dan bagian yang dikonsumsikan oleh petani (CP):
                                                         PP = TPP - CP
      Jadi, sifat dari MS dapat digambarkan dengan melihat relasi berikut ( Ghatak dan ingersent, 1984):
                                                         MS = f ( Pa’ Tpa’ U )

      Dimana PP = TPP dan U = variabel-variabel lain selain TPP dan PP yang juga berpengaruh terhadap MS. Diharapkan bahwa:
                                                        (∂ MS / ∂PP ) > 0 dan  (∂MS / ∂TPP ) > 0
      Dalam kata lain, sesuai hukum penawaran, semakin tinggi harga produk pertanian, semakin besar suplai produknya. Semakin tinggi output yang dipasarkan, yaitu  ∂Pa / ∂TPa > 0
      Fenomena ini muncul sebagian karena konsumsi komoditi pertanian dari petani telah mencapai tingkat optimum dan sebagian lagi karena suatu kenaikan di dalam permintaan terhadap barang-barang industri dari petani, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan akan uang. Sebagian dari kenaikan pendapatan tersebut akan digunakan untuk pengeluaran konsumsi, sisanya merupakan tabungan.
      Di indonesia, keterkaitan investasi (I) antara sektor pertanian dengan sektor-sektor nonpertanian sangat perlu ditingkatkan terutama untuk mengurangi ketergantungan indonesia pada pinjaman luar negri (ULN). Akan tetapi, agar peran pertanian tersebut dapat direalisasikan, ada beberapa kondisi yang harus terpenuhi terlebih dahulu (Griffin, 1979). Pertama, petani-petani harus menjual sebagian dari output-nya ke luar sektornya, atau dalam perkataan lain harus ada MS dari produk pertanian. Kedua, petani-petani harus merupakan penabung neto, dan untuk ini pengeluaran mereka untuk konsumsi harus lebih kecil daripada produksi mereka. Ketiga, tabungan para petani harus lebih besar daripada kebutuhan investasi (S>I) di sektor pertanian.

    4.Kontribusi Devisa
      Kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan devise adalah lewat peningkatan ekspor (X) dan / atau pengurangan tingkat ketergantungan negara terhadap impor (M) atas komoditi-komoditi pertanian. Tentu kontribusi sektor itu terhadap X bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan X atau pengurangan M produk-produk berbasis hasil dari sektor pertanian.
      Akan tetapi, peran sektor pertanian dalam penigkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya dalam bentuk kontribusi seperti telah dibahas sebelumnya, kontribusi produk dari sektor pertanian terhadap pasar dan industri domestik bisa tidak besar karena sebagian besar produk pertanian diekspor dan/ atau sebagian besar kebutuhan pasar dan industri domestik disuplai oleh produk-produk impor. Dalam kata lain usaha peningkatan X pertanian bisa berakibat negatif terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya, usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu faktor penghambat bagi pertumbuhan X pertanian.
      Untuk menghindari trade-off seperti ini, maka ada dua hal yang perlu dilakukan di sektor pertanian, yakni menambah kapasitas produksi di satu sisi, dan meningkat daya saing produk-produknya di sisi lain. Namun, bagi banyak LDCs termasuk Indonesia,melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah, terutama karena keterbatasan teknologi,SDM,dan K.

    B.Kinerja Dan Peran Sektor Pertanian Di Indonesia
    1.Pertumbuhan Output Sejak Tahun1970-an
      Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah dengan proses industrialization, di mana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomiseperti ini juga terjadi di Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena rata-rata, elastisitas pendapatan dari permintaan terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripada elastisitas pendapatan dari permintaan terhadap produk-produk dari sektor-sektor lain seperti barang-barang industri. Jadi, dengan peningkatan pendapatan, laju pertumbuhan permintaan terhadap komoditas pertanian lebih kecil daripada terhadap barabg-barang industri.

    2.Pertumbuhan dan Deversifikasi Ekspor
      Komoditas pertanian Indonesia yang di ekspor cukup bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah. Selama 19993-2001, nilai X total dari komoditas-komoditas ini rata-rata pertahun hampir mencapai 3 miliar  dolar AS. Di antara komoditi-komoditi tersebut, yang paling besar nilai ekspornya adalah udang dengan rata-rata sedikit di atas 1 miliar dolar  Asselama periode yang sama. Udang memang merupakan komoditas perikanan yang terpenting dalam X hasil perikanan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengekspor hasil perikanan bukan bahan makanan seperti rumput laut, mutiara, dan ikan hias.
      Namun dilihat dalam total X nasional, kontribusi pertanian terhadap pembentukan jumlah X nasional sangat kecil. Pada tahun 2002 hanya 4,47% dibandingkan besarnya sumbangan dari industri manufaktur yang mencapai hampir 69,0% (tabel 5.5). Pangsa ini sedikit meningkat dibandingkan januari - mei 2001 . selama januari – mei 2001 nilai X pertanian tercatat sekitar 991,2 juta dolar AS, dan untuk periode yang sama 2002 naik menjadi 995,0 juta dolar AS. Namun, ini tidak berarti peran pertanian dalam pertumbuhan X nasional, khususnya nonmigas sangat kecil. Sebaliknya, sektor ini punya peran besar secara tidak langsung, yakni lewat X dari industri manufaktur, sejak output dari industri manufaktur Indonesia didominasi oleh produk-produk berbasis pertanian seperti makanan dan minuman dan produk-produk dari kulit, bambu, dan rotan.

                                       Tabel 5.5
           Nilai  Ekspor Indonesia Menurut Sektor : Januari-mei 2001 dan 2002

Uraian                   Nilai Fob (juta dolar AS)           % Perubahan Jan-mei      % Peran terhadap total
                           Jan-Mei 2001    Jan-Mei 2002    2002 terhadap 2001          Ekspor jan-mei 2002
Total ekspor           24.503,2            22.285,2              -9,05                             100,00
-Migas                     5.906,4              4.689,3              -20,61                              21,04
-Nonmigas             18.596,8            17.595,9              -5,38                               78,96
-Pertanian                   991,2                 995,0               0,38                                 4,47
-Industri                 16.009,3            15.312,2              -4,35                               68,71
-Pertambangan         1.596,3              1.288,7             -19,27                                5,78
 Dan lain-lain

   
Sumber ; BPS

     Struktur X ini memang sesuai prediksi dari teori pembangunan ekonomi yang hipotesisnya adalah bahwa dalam suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin kecil peran dari sektor-sektor primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin besar peran dari sektor-sektor skunder, seperti industri manufaktur dan sektor-sektor tersier didalam ekonomi. Peran ini dapat dilihat dari pembentukan PDB dan X total. Semakin tinggi tingkat pembanguna ekonomi ( yang terefleksi dengan semakin tingginya pendapatan per kapita ), semakin penting peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok bahan baku bagi sektor industi manufaktur dan sektor-sektor lainnya. 

   3.Kontribusi Terhadap Kesempatan Kerja
     Di suatu agraris besar seperti Indonesia, dimana ekonomi dalam negrinya masih didominasi  oleh ekonomi pedesaan, sebagian besar dari jumlah angkatan / tenaga kerja (L) bekerja di pertanian. Pada tahun 2000, jumlah orang yang bekerja di pertanian bertambah menjadi 40,7 juta orang lebih, namun masih lebih kecil di bandingkan jumlah pekerja di sektor tersebut pada awal tahun 1990-an, yakni sekitar 1 juta orang.

   4.Ketahanan Pangan
     Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja dilihat dari nolai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik yang sangat besar. Ketahanan pangan menjadi tambah penting lagi untuk Indonesia karena saat ini Indonesia merupakan salah satu anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya, di satu pihak, pemerintah harus memprhatikan kelangsungan produksi pangan dalam negeri demi menjamin ketahanan pangan, namun, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di dalam WTO bisa membuat Indonesia menjadi sangat tergantung pada impor pangan, dan ini dapat mengacam ketahanan pangan di dalam negeri.
       Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setia waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy , 2002an).
     Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.17 tersebut memberi penekanan pada akses setiap RT terhadap pangan yang cukup, bermutu, dan harganya terjangkau, meskipun katat-kata RT belum berarti menjamin setiap individu di dalam RT mendapat akses yang sama terhadap pangan karena di dalam RT ada relasi kuasa (Pambudy , 2002an). Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah, dengan mutu yang baik serta stabilitas harga dan di pihak lain, peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah.

   a.Kebuthan Pangan Nasional
       Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan ( kekurangan stok ). Seperti juga di prediksi oleh teori Malthus. namun keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh dua hal: karena volume produksi rendah (yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainya), sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat distribusi yang tidak merata keseluruh dunia: banyak daerah seperti afrika mengalami krisis pangan, sementara di Eropa barat, Amerika Utara, dan sebagian Asia melebihi kelebihan pangan.
     Menurut prediksi FAO, untuk 30 tahun kedepan peningkatan produksi pangan akan bertambah besar dari pada pertumbuhan penduduk dunia. Peningkataan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di DCs. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Menurut data dari FAO, dalam 20 tahun belakangan ini peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6%pertahun. Selama periode 2000-2015 peningkatan produksi pangan di perkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan  penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 FAO memperkirakan produksi pangan akan tumbuh lebih rendah lagiyakni 1,3% per tahun, tetapi masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton d     i tahun 2030 (Husodo, 2002).
     Walaupun demikian, lebih besarnya tingkat pertumbuhan volume produksi pangan dunia dibandingkan laju pertumbuhan penduduk dunia bukan berarti tidak ada orang yang akan kekurangan pangan. Bahkan sebaliknya, menurut perkiraan FAO jumlah penduduk dunia yang kekurangan pangan akan meningkat, dan pada tahun 2015 diperkirakan sebanyak 580 juta jiwa. Masih akan banyak penduduk dunia yang mengalami kekurangan pangan, sehingga memberi kesan bahwa maslah pangan dunia bukan masalah keterbatasan produksi (seperti dalam pemahaman Malthus) tetapi masalah distribusi.
     Memang tidak ada orang yang bisa mengetahui persis berapa banyak pangan yang dibutuhkan dunia di tahun-tahun mendatang, apalagi untuk suatu periode jangka panjang. Oleh karena itu , orang hanya bisa memprediksi dan resiko kesalahan prediksi selalu ada: prediksi-prediksi yang dibuat bisa jauh lebih besar atau lebih kecil daripada kenyataan nanti. Karena dalam membuat suatu prediksi  mengenai kebutuhan pangan  di masa depan, ada sejumlah faktor penetu yang  juga harus diprediksi terlebih dahulu seperti pertumbuhan penduduk, peningkataan pendapatan riil rata-rata per kapita, ketersedian atau perubahan lahan, dan yang  juga sangat penting adalah perubahan pola konsumsi masyarakat sejalan dengan kenaikan pendapatan. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak lembaga-lembaga atau individu di luar maupun di dalam negeri membuat prediksiyang berbeda mengenai kebutuhan  pangan di masa depan. Misalnya, dengan mengolah data dari berbagai sumber.

     Produksi Dalam Negeri dan Ketergantungn Pada Impor
       Bukan hanya dialami oleh Indonesia, tetapi memang secara umum ketergantungan LDCs terhadap M pangan semakin besar jika dibandingkan 10 atau 20 tahun yang lalu. Menurut data dari FAO , M pangan dari  LDCs tahun 1995 sekitar 170 juta ton, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 270 juta ton pada tahun 2030. Sebaliknya, X produk-produk p DCs akan semakin besar, yang oleh FAO diperkirakan akan naik dari 142 juta ton tahun 1995 menjadi 280 juta ton tahun 2030.
     Dalam hal beras, menurut pengakuan pemerintah, untuk mencakupi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang  jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa, setiap tahunnya harus M beras lebih dari 2 juta ton. Argumen yang sering digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan M-nya adalah bahwa M beras merupakan suatu kewajiban pemerintah yang tidak bisa di hindari, karena ini bukan semata-mata hanya menyangkut pemberian makanan bagi penduduk tetapi juga menyangkut stabilitas nasional (ekonomi, politik dan sosial).

     Faktor-faktor determinan
       Kemampuan indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk swasembada dalam penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak faktor, eksternal maupun internal. Salah satu faktor eksternal yang tidak bisa dipegaruhi oleh manusia adalah iklim; walaupun dengan kemajuan teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap produksi pertanian bisa di minimalisir. Sedangkan faktor-faktor  internal bisa dipengaruhi oleh manusia, diantaranya yang penting adalah luas lahan, bibit berbagai macam pupuk, pestisida, ketersediaan dan kualitas infrastruktur termasuk irigasi, jumlah dan kualitas L (SDM), K dan T.
     Menurut pengamatan Adi (2002), perluasan lahan pertanian memang terjadi selama ini, tetapi berjalan sangat lambat. Lahan sawah sebagai penghasil utama bahan pangan. Adi juga memperkirakan bahwa luas lahan yang berpotensi untuk perluasan areal sawah diIndonesia  sekitar 19 juta ha, tetapi sebagian telah digunakan untuk komoditas lainnya.potensi untuk perluasan areal sawah sekitar 10 juta ha, terluas di papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau.
       Menurut hasil studi dari sudaryanto (2001), dari total konversi lahan pertanian secara nasional, sekitar 68,3%  diantaranya adalah lahan sawah. JICA (japan internasional cooperation Agency) memproyeksikan, sampai dengan tahun 2020 indonesia akan melakukan konversi lahan irigasi seluas 807.500 ha, dengan rincian 680.000 di jawa, 30.000 di Bali,62.500 di sumatra dan 35.000 di sulawesi (Budhi, 1996). Hasil studi sudaryanto dkk. Menunjukan bahwa selama 1989-1991, dari total konversi lahan sawah di jawa Timur seluas 38.100 ha, sekitar hampir 71%-nya adalah sawah irigasi, dan sisanya adalah sawah tadah hujan. Akibat konversi tersebut sangat tinggi, dilihat dari biaya pembangunan iriiigasi tersebut yang terbuang Cuma-Cuma.
     Sempitnya lahan juga berdampak negatif terhadap produktivitas padi, walaupun pemakaian teknologi serta penerapan metode-metode produksi yang tepat sesuai luas lahan dapat mengurangi dampak negatif tersebut. Tren perkembangan jangka panjang ini mendukung anggapan bahwa salah satu faktor penentu produktivitas pertanian adalah luas lahan, atau memperkuat dugaan umum mengenai adanya suatu korelasi positif antara luas lahan dengan tingkat produktivitas.
     Berdasarkan data SP 1993, tabel 5.18 menunjukan bahwa sebagian besar dari jumlah RT pertanian yang masuk dalam sampel menguaqsai lahan rata-rata dibawah 0,5 ha dari luas lahan sebesar 2,1 juata ha. Sedangkan proporsi dari jumlah RT pertanian tersebut yg memiliki lahan di atas 1 ha tercatat tidak sampai 29%, yang rata-rata memiliki 2,07 ha per keluarga. Pada tahun 2001, rata-rata penguasaan lahan per keluarga dari kelompok dibawah 0,5 ha diperkirakan tidak sampai 0,22 ha, dengan proporsi lebih dari 55% dari jumlah petani.

                                                                        Tabel 5.18
                       Rata-rata penguasaan Lahan oleh RT Pertanian Tanaman Pangan: 1993

Luas lahan yang di kuasai (ha)    Jumlah RT      % RT     Luas lahan (ha)      Rata-rata lahan / RT (ha)
< 0,5 ha                                         8.726.434       48,5        2.099.421                  0,24
0,5-0,99 ha                                    4.130.271        23.0       2.749.943                  0,67
>1 ha                                            5.121.722        28.5      10.591.257                  2,07
  
Total                                             17.978.427      100.0    15.440.621                  0,86

Sumber: SP 1993 (BPS)

   C.Nilai Tukar Petani
   1.Pengertian Nilai Tukar
       Yang dimaksud nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga ( nominal atau indeks ) dari dua barang yang berbeda. Sebagai contoh sederhana, misalnya ada dua jenis barang: A dan B dengan harga masing-masing PA = 10 dan PB = 20. Maka nilai tukar barang A terhadap barang B adalah rasio ( PA/PB ) x 100% = ½. Rasio ini menunjukan bahwa untuk mendapatkan ½ unit B harus ditukar dengan 1 unit A ( atau 1 unit B ditukar dengan 2 unit A).
     Di dalam literatur perdagangan internasional, pertukaran dua barang yang berbeda di pasar dalam negri dalam nilai mata uang nasional disebut dasar tukar dalam negri, sedangkan di pasar internasional dalam nilai mata uang internasional ( misalnya dolar AS) disebut dasar tukar internasional atau umum dikenal dengan terms of trade ( ToT ). Jadi, ToT adalah harga relatif eksport terhadap harga import, atau rasio antara indeks harga eksport terhadap indeks harga M.
     Sedangkan pengertian nilai tukar petani (NTP) sedikit berbeda dengan ToT di atas. NTP hanya menunjukkan perbedaan antara harga output pertanian dengan harga input pertanian, bukan harga barang-barang lain seperti pakaian, sepatu, dan makanan. Atau lebih jelasnya, NTP adalah rasio antara indeks harga yang di trima petani, yakni indeks harga jual output-nya, terhadap indeks harga bertani, misalnya pupuk. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin baik posisi penda[patan petani.
   2.Perkembangan NTP di indonesia
       NTP berbeda menurut wilayah / provinsi karena adanya perbedaan inflasi ( laju pertumbuhan indeks harga konsumen )
     Sistem distribusi pupuk dan input-input pertanian lainnya,serta paerbedaan titik ekuilibrrium pasar itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di wilayah tersebut.dari sisi penawaran,faktor penentu utama adalah folume atau ada),sedangkandari sisi permintaan terutama adalah jumlah penduduk(serta komposisinya menurut umur dan jenis kelamin) dan tingkatan pendapatan riil masyarakat rata-rata perkapita.
     Secara teroritis,dapat diduga bahwa dipusat-pusat produksi beras,misalnya kerawang(jawa barat),pada saat musim panen pasar beras diwilayah tersebut cenderung mengalami stok beras,sehingga harga beras perkilo dipasar lokal cenderung menurun. Sebaliknya pasar beras diwilayah bukan pusat produksi beras,misalnya kalimantan,cenderung mengalami kekurangan,sehingga harga beras perkilo dipasar setempat naik. Akaan tetapi,bukan berarti NTP dikerang selalu harus lebih rendah dikalimantan. Rendah-tingginya NTP juga ditentukan oleh indeks harga input-input pertanian dimasing-masing wilayah biasa saja,misalnya harga beras dikalimantan tinggi karena persedian terbatas, namun harga pupuk disana juga tinggi karena kekurangan stok akibat produksi lokalnya mandek atau ada distorsi dalam distribusi,sehingga NTP diwilayah tersebut rendah.
   3.Penyebab lemahnya NTP
       Sebelumnya,telah dijelaskan bahwa perubahan NTP disebabkan oleh perubahan IT dan / IB. Oleh kaerena itu, pengkajian terhadap penyebab lemahnya NTP dapat dilakukan dengan menganalisis oleh faktor-faktor penyebab redahnya IT dan faktor-faktor penyebab tingginya IB. Diindonesia, petani beras didalam negeri mengalami persaingan yang sangat ketat,termasuk dengan beras inpor. Karena beras merupakan makanan pokok masyarakat indonesia,yang artinya selalau ada permintaan dalam jumlah yang besar, maka semua petani berusaha untuk menanam padi atau memproduksi beras saja. Hal ini membuat harga beras dipasar domestik cenderung menurun hingga (pada titik ekuilibrium jangka panjang) sama dengan biaya marjinal,atau sama dengan biaya rata-rata perunit output. Ini artinya bahwa IT akan sama dengan IB, dan berarti keuntungan petani nol. Sedangkan,jeruk bukan merupakan suatu barang kebutuhan pokok sepenting beras, sehingga walaupun harganya baik tidak semua petani ingin menanam jeruk.jadi,jelas diversifikasi output disekt      or pertanian sangat menentukan baik tidaknya NTP  diindonesia.


   D.Keterkaitan Produksi Antara Sektor Pertanian Dengan Sektor-Sektor Ekonomi lainnya
       Tidak dapat diingkari bahwa salah satu penyebaab krisis ekonomi diindonesaia  tahun 1997 adalah karena kesalahan industrialisasi selama Orde Baru yang tidak berbasis pada pertanian.selama krisis ekonomi juga terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam persentase yang kecil,sedangkan sebagian besar sektor-sektor ekonomi lainnya termasuk industri manufaktur,mengalami laju pertumbuhan yang negatif diatas satu digit.
     Secara teoritis, jumlah output  dari pertanian OA,yang mana Of adalah makanan yang dikonsumsi dipasar domestik dan Ox bahan baku atau komoditas pertanian yang diekspor. X ini memungkinkan negara bersangkutan untuk M sebesar Om, dengan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Denagn adanya M (Om) dan makanan (Of) memungkinkan industri di negara tersebut untuk menghasilkan output sebesar Oi. Jika output pertanian tidak meningkat, X dari sektor tersebut akan berkurang ke Oy,dan ini berarti kebutuhan akan M sebesar Om tidak dapat di penuhi. Oleh sebab itu, dalam usaha meningkatkan volume produksi di sektor industri (ke Oi), output pertanian juga harus ditingkatkan ke OC. Ini akan meningkatkan konsumsi ke Om, dan berarti juga output industri bisa naik ke Oi. Ilustrasi ini menunjukan bahwa tanpa suatu peningkatan output atau produktivitas di sektor pertanian, sektor industri tidak dapat meningkatkan output-nya ( atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karena itu, sektor pertanian memainka      n suatu peran penting dalam pembangunan sektor industri di suatu daerah.
     Berdasarkan data dari bank dunia mengenai pertumbuhan output didua sektor tersebut disejumlah negara di asia untuk periode 1980-1985,tambunan (2001) menunjukan adanya suatu koreali positif ( trend positif) antara pertumbuhan output disektor pertanian dengan disektor industri mannufaktur berdasarkan uraian diatas,pertanian tepat dikatakan sebagai sektor andalan bagi perekonomian nasional,yang berarti juga sebagai motor utama penggerak sektor industri.konsep dasarnya adalah sebagaimana yang dapat dikutip dari simatupang dan syafa’at(2000,hal 9) sebagaiberikut. Sektor andalan perekonomian adalah sektor yang memiliki ketangguhan dan kemaampuan tinggi . sektor andalan merupakan tulang punggung (backbone) dan mesin penggerak perekonomian (engine of growth),sehingga dapat pula disebut sebagai sektor kunci atau sektor pemimpin (leading secto)perekonomian nasional.
     Sebaliknya, lewat keterkaitan produksi, industri manufaktur bisa memainkan suatu peran yang penting untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan sektor pertanian sesuai keunggulan komparatifnya. Contoh konkritnya adalah industri agro seperti industri makanan dan minuman,industri rokok,dan industri yang membuat produk-produk dari kayu,rotan,karet,dan bambu.
     Pentingnya industri agro dalam perekonomian indonesia dapat dilihat dari sejumlah indikator,diantaranya adalah rendahnya kandungan impornya, dan ini menunjukan kuatnya keterkaitan produksi antara industri agro dan pertanian .
       Berdasarkan tabel I-O nasional tahun 1990, hasil estimasi dari Erwidodo (1997) menunjukan M industri agro berkisar dari 0,3%  hingga 14,2% untuk sejumlah industri, dibandingkan Mdari industri-industri nonagro yang berkisar antara 10,8% hingga 32,3% (tabel 5.22). rendahnya ketergantunagan industri agro terhadap M bahan baku dan input lainya sangat sangat menolong Indonesia dalam mengurangi beban keuangan (keperluan devisa) pada masa krisis ekonomi (Bahri, dkk.1998).

                                                             Tabel  5.22
                           Kandungan Impor dari Industri Agro Versus Industri Nonagro

               Kelompok industri                Kandungan impor
            Industri agro   
            -  Makanan                                         0,0036
            -  Gemuk dan Minyak                        0,003
            -  Tepung                                           0,1419
            -  Gula                                               0,0029
            -  Makanan lainnya                            0,0657
            -  Minuma                                         0,01
            -  Rokok                                           0,0438
            -  Bambu,kayu,dan rotan                  0,0188
    
                 Industri nonagro   
            -  Tekstil,pakaian jadi dan kulit*       0,1368
            -  Kertas dan produk-produknya       0,1236
            -  Pupuk dan pestisida                       0,323
            -  Kimia                                             0,3999
            -  Kilangminyak                                 0,5004
            -  Mineral(non logam)                        0,4351
            -  Semen                                            0,6747
            -  Produk-produk logam                    0,4705
            -  Mesin, elektronika, dan lain-lain     0,3183
            -  Transportasi                                   0,1436
   
            
   Keterangan: * = menurut Erwidodo, industri tekstil dan produknya serta kulit dan produknya bukan industri agro. Sumber: Erwidodo (1997)


       Daftar pustaka: 1.Buku perekonomian indonesia Dr. Tulus T.H. Tambunan

Kamis, 17 Maret 2011

BAB 3. Kemiskinan Dan Kesenjangan Pendapatan


 
Pendahuluan
Setelah mempelajari tentang sejarah sistem perekonomian indonesia dan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian indonesia pada masa orde lama maupun orde baru, dan mengenai Neraca Pembayaran yg meliputi pendapatan per kapita, GNP dan GDB. Sekarang saya akan mencoba untuk membahas mengenai Kemiskinan Dan Kesenjangan Pndapatan yg meliputi Permasalahan Pokok, Konep dan Devinisi, Pertumbuhan, kesenjangan dan kemiskinan, serta beberapa indikator Ksenjangan dan Keiskinan, dan Penemuan Empiris dan juga Kebijakan Anti kemiskinan. Dari faktor-faktor inilah kita bisa tahu apa penyebab terjadinya kemiskinan? Dan kita juga bisa tahu solusi apa untuk bisa mengangkat perekonomian kita untuk lebih baik dan angka kemiskinan di negara kita bisa lebih mengurangi dibandingkan jumlah yang sebelumnya.

Kemiskinan Dan Kesenjangan Pendapatan
A.   Permasalahan pokok
     Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan ( yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi ) dan tingkat kemiskinan ( persentase dari jumlah populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan ) merupakan dua masalah besar di banyak LDCs,tidak terkecuali indonesia. Dikatakan besar, karena jika dua masalah
Ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan  bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinannya. Bahkan kejadian tragedi mei 1998 menjadi suatu pertanyaan ( hipotesis ) hingga sekarang. Andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di indonesia sama dengan misalnya di swiss, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemontrasi hingga akhirnya membuat rezim soeharto jatuh pada bulan mei 1998?
     Di indonesia pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan ekonomi di jakarta masih sangat percaya bahwa proses pembangunan  ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di jawa, khususnya jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trckle down effects. Di dasarkan pada kerangaka pemikiran tersebut, pada awal periode orde baru hingga akhir tahun  1970 –an , strategi pembangunan ekonomi yang di anut oleh pemerintahan soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi nasional di mulai di pulau jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks industri, gedung-gedung pemerintahan / administrasi negara, kantor-kantor perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih terrsedia di jawa ( khususnya jakarta dan sekitarnya ) di banding provinsi-provinsi lain di indonesia. Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu sajayang secara potensial memiliki kemampuan basar untuk menghasilkan NTB yang tinggi, mereka percaya bahwa nantinya hasil dari pembanguan itu akan ‘menetes’ ke sektor-sektor dan wilayah indonesia lainnya.
      Namun,  sejarah menunjukan bahwa setelah 30 tahun lebih sejak pelita 1 tahun  1969, ternyata efek menetes tersebut kecil (kalau tidak bisa dikatakan sama sekali tidak ada), atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Akibat dari strategi tersebut dapat dilihat pada tahun  1980-an hingga krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, indonesia memang menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun yang tinggi, tetapi tingkat kesenjangan dalam pembagian PN juga semakin  besar dan jumlah orang miskin tetap banyak ; bahkan meningkat tajam sejak krisis ekonomi.
      Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah mulai menyadari buruknya kualitas pembanguan yang dihasilkan dengan strategi tersebut. Oleh karena itu, sejak pelita III strategi pembangunan mulai diubah: tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama dari pembangunan. Sejak itu perhatian mulai di berikan pada usaha meningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya lewat pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan pedeswaan, dan modernisasi, sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi, sudah banyak dilaksanakan program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan sepenuhnya) jumlah orang miskin dan ketimpangan  pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air. Program-program tersebut antara lain adalah Inpres Desa Trtinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya di pedesaan), transmigrasi, pelatihan / pendidikan, dan masih banyak lagi. Sayangnya krisis ekonomi tiba-tiba muncul diawali oleh krisis nilai tukar rupiah pada pertengahan kedua tahun 1997, dan sebagai salah satu akibat langsungnya, jumlah orang miskin dan gap dalam distribusi pendapatan di tanah air membesarrr; bahkan menjadi jauh lebih buruk dibaandingkan dengan kondisinya sebelum krisis.

B.   Konsep Dan Definisi
Besarnya kemiskinan dapat di ukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif , sedangkan konsep yang pengukurannya tidak di dasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat di definisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di negara-negara maju  (DCs), kemiskinan relatif di ukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relatif , kemiskinan relatif dapat berbeda menurut negara atau priode di dalam suatu negara. Kemiskinan absolut adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum di tambah komponen-komponen nonmakanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Walaupun kemiskinan absolut sering juga disebut kemiskinan ekstrem, tetapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interprestasi setempat atau kalkulasi.
     C. Pertumbuhan, kesenjangan, Dan kemiskinan
1. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kesenjangan: Hipotesis Kuznets
         Data tahun 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak LDCs, terutama negera-negarayang proses pembangunan ekonominya sangat pesat dan dengat laju pertumbuhan ekonomi yang  tinggi, seperti indonesia, menujukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengen tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi pertumbahaan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan, suatu studi dari Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara menujukkan bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an pada saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi., pada awal tahun 1990-an ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini tidak hanya terjadi di LDC, tetapi juga di DCs. Studi-studi dari Jantti (1997) dan mule (1998)  memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan dalam pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di Sweden, Inggris, AS , dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat menujukkan suatu tren yang meningkat selama 1970-an dan 1980-an. Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan publik. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.
     Berdasarkan fakta ini, muncul pernyataan: kenapa terjadi suatu trade-off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Atau berdasarkan kerangka pemikiran yang melandasi “hipotesis Kuznets” tersebut,apakah memang terbukti ada suatu korelasi positif jangka panjang (setelah berapa tahun?) antara tingkat pendapatan per kapita (atau laju pertumbuhannya) dan tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau suatu korelasi negatif antara tingkat pendapatan per kapita dan besarnya kesenjangan dan pendapatan? Atau kalau memang benar relasi antara peningkatan pendapatan rata-rata per kapita (yang mencerminkan semakin tingginya tingkat pembangunan ekonomi) dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan berbentuk kurva U terbalik. 
2. Hubungan Antara Pertumbuhan dan Kemiskinan
         Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang telah di bahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat,dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Tentu seperti telah dikatakan sebelumnya, banyak faktor-faktor lain selain pertumbahan pendapatan yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/negara,seperti derajat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi.
      Dasar pemasaranuntuk menggambarkan relasi antara pertumbuhan output agregat dan kemiskinan dapat diambil dari persamaan (3.1). Dalam persamaan tersebut, elastisitas dari ketidakmerataan  dalam distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan pendapatan adalah suatu komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari perubahan ketimpangan)dari pertumbuhan pendapataan terhadap kemiskinan. Apabila elastisitas neto dan bruto dari kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan dinyatakan masing-masing dengan g dan l,elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan dengan d, maka di dapat (wodon, 1999):
                    l = g + bd                                                                                       (3.2)
     Untuk mendapatkan elastisitas bruto dari kemiskinanterhadap pertumbuhan dan elastisitas dari kemiskinan terhadap ketimpangan (pertumbuhan sebagai variabel yang dapat dikontrol), digunakan persamaan:
               Log Pkt = w + Log Wkt  + LogGkt  + wk + v kt                                              (3.3) 
di mana Pkt = kemiskinan untuk wilayah k pada periode t;Wkt  dan Gkt seperti di persamaan (3.1),wk = efek-efek yang tetap atau acak; dan vkt = term kesalahan.
      Sudah cukup banyak studi empiris dengan pendekatan analisis lintas negara yang menguji relasi antaram pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan , dan hasilnya menujukkan bahwa memang ada suatu korelasi yang kuat antara kedua variabel ekonomi makro tersebut. Akhir-akhir ini juga cukup banyak studi yang mencoba membuktikan adanya pengaruh dari pertumbuhan output  sektoral terhadap pengurangan jumlah orang miskin. Dalam kata lain, kemiskinan tidak hanya bekorelasi dengan pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN,tetapi juga dengan pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara individu. Misalnya studi dari Ravallion dan Datt (1996) dengan memakai data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer , khususnya pertanian, jauh lebih efekti terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Sektor-sektor terakhir ini tidak punya efek yang berarti terhadap penurunan kemiskinan  di pedesaan maupun perkotaan. Kakwani (2001) juga melaporkan hasil yang sama dari penelitiannya untuk kasus Filipina. Dikatakan didalam studinya bahwa sementara peningkatan 1% output di sektor pertanian mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1%, presentase pertumbuhan yang sama dari output di sektor industri dan di sektor jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan antara seperempat hingga seper tiga persen.
       Dari hasil penemuan di atas mengatakan bahwa sektor pertanian sangat efektif untuk mengurangi kemiskinan di LDCs. Bahkan hal ini dinyatakan dengan jelas oleh mellor (2000) akan tetapi bnyak peneliti-peneliti lain tidak sependapat dengan pandangan menurut mellor di antaranya seperti Hasan dan Quibria (2002) pernyataan mereka telah didukung oleh studi dari ADB (1997) mengenai negara-negara indusrti baru di Asia Tenggara (NICs), seperti korea selatan, taiwan, dan singapura, yang hasil studinya menunjukan bahwa pertumbuhan output di sektor industri manufaktur mempunyai dampak positif yang sangat besar terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan.
     Hasan dan Quibria (2002) juga melakukan studi untuk menguji swecara empiris dampak dari pola pertumbuhan output menurut sektor terhadap penurunan kemiskinan dengan menggunakan data planel dari 45 negara di Asia timur dan Selatan, Amerika Latin, dan karibian, serta Afrika sub-sahara. Model yang digunakan untuk mengestimasi pengaruh dari pertumbuhan PDB terhadap tingkat kemiskinan pada prinsipnya sama seperti persamaan (3.3). sedangkan untuk mengukur relasi antara kemiskinan dan pertumbuhan sektoral, mereka mengestimasi persamaan berikut ini.
LnP = a + b1LnY1 + b2LnY2 + b3LnY3 + u + R                                                                   (3.4)
Dai mana P adalah kemiskinan yang didefinisikan sebagai suatu fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi di bawah suatu tingkat pengeluaran minimum yg telah  di tetapkan sebelumnya,atau garis kemiskinan; Y mewakili tingkat output per kapita di tiga sektor: pertanian, industri pengolahan,dan jasa; sedangkan u dan R adalah term kesalahan.
Secara garis besar disini dapat di lihat di gambar 3.2, plot antara data PN per kapita dan data presentase dari jumlah populasiyang hidup di bawah garis kemiskinan dari negara-negara yg di teliti memberi kesan yang kuat bahwa ada suatu korelasi negatif antara tingkat pendapatan dan kemiskinan: semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, semakin rendah tingkat kemiskinan ; atau dalam perkataan lain , negara-negara dengan tingkat PN per kapita yang lebih tinggi cenderung mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan negara-negara yang tingkat PN per kapitanya lebih rendah.
Dapat dilihat bahwa elastisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan untuk Asia timur adalah yang tertinggi, disusul kemudian oleh Ameriks Latin, Asia Selatan, dan Afrika Sub-sahara. Jadi menurut hasil ini, 1% kenaikan PN per kapita akan mengurangi kemiskinan 1,6% di Asia timur, dan 0,7% di Afrika sub-sahara.
      Kakwani dan pernia (2001) mendefinisikan suatu indeks per tumbuhan prokemiskinan yang membandingkan penurunan kemiskinan yang sebenarnya terjadi akibat pertumbuhan ekonomi tanpa mempengaruhi distribusi pendapatan di sejumlah negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Dengan memakai indeks ini, mereka menemukan bahwa selama periode 90-an, pertumbuhan ekonomi di korea selatan lebih prokemiskinan secara signifikan dari pada pertumbuhan di Thailand dan Lao PDR. Hasil studi mereka jugs menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi di pedesaan lebih prokemiskinan daripada pertumbuhan ekonomi di perkotaan.
     Studi-studi lainnya adalah misalnya dari Dolar dan Kraay menunjukan bahwa elastisitas pertumbuhan PDB pendapatan per kapita dari kelompok miskin adalah 1%, yang artinya pertumbuhan rata-rata output sebesar 1% membuat 1% peningkatan pendapatan dari masyarakat miskin. Sedangkan hasil estimasi dari Timmer dengan memakai teknik-teknik ekonometrik yang sama melaporkan bahwa elastisitas tersebut hanya sekitar 8%, yang artinya kurang dari proporsional keuntungan bagi kelompok miskin dari pertumbuhan ekonomi.
D.   Beberapa Indikator Kesenjangan Dan Kemiskinan
     Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat di bagi kedalam Dua kelompok pendapatan, yakni axiomatic, dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni The Generalized Entropy (GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini.
      Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0: kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1: ketidak merataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.
      Ide dasar dari perhitungan koefisien Gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien Gini adalah rasio: (a) daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 45 drajat dari titik 0 dari sumbu Y dan X) terhadab (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai raio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan  distribusi pendapatan.
     Selain tiga alat ukur tsb, ada cara pengukuran lainnya yang juga umum di gunakan terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokan menjadi tiga grup: 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% dari penduduk berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketida merataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan; sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
      Untuk mengukur kemiskinan, ada tiga indikator yg diperkenalkan oleh Foster dkk. (1984) yang sering digunakan di dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of povert : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the depth of poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak / perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi. Ketiga, the severity of poverty yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain memisahkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
     Adanya dua indikator tersebut (selain rasio H) adalah untuk mengkompensasi kelemahan dari rasio H yang tidak bisa menjelaskan tingkat keparahan kemiskinan disuatu negara. Selain itu,  para peneliti kemiskinan sudah lama tertarik pada dua faktor lain, yaitu rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang miskin. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tidak berubah, tambah tinggi rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, tambah besar gap pendapatan antar orang miskin, dan kemiskinan akan tambah besar.
     Dari dasar pemikiran diatas, muncul indeks kemiskinan sen, yang memasukkan dua faktor tersebut, yakni koefisien Gini dan rasio H:
S = H [ I + (1-1) Gini ]
Dimana I adalah jumlah rata-rata defisit pendapatan  dari orang miskin sebagai suatu presentase dari garis kemiskinan, dan koefisien Gini yang mengukur ketimpangan antara orang miskin. Apbila salah satu dari faktor-faktor tsb naik, tingkat kemiskinan bertambah besar (yang di ukur dengan S).


E.   Penemuan Empiris
1.      Distribusi Pendapatan
       Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari survei. Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun di akui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih keci. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga menggunakan kredit Bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.

Secara teoretis, perubahan pola distribusi pendapatan di pedesaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini.
1.      Akibat arus penduduk / L dari pedesaan ke perkotaan yang selama orde baru berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A. Lewis (1954), perpindahan orang dari pedesaan ke perkotaan memberi suatu dampak positif terhadap perekonomian di pedesaan: kesempatan kerja produktif , tingkat produktivitas dan pendapatan rata-rata masyarakat di pedesaan meningkat. Sedangkan ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak mampu menmpung suplai L yang meningkat terus setiap tahunnya, yang sebagian besar adalah pendatang dari pedesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di satu pihak, dan menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah / gaji, di pihak lain.
2.      Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di pedesaan dengan di perkotaan. Di pedesaan jumlah sektor relatif lebih kecil dibandingkan di perkotaan, dan sektor-sektor yang ada di pedesaan lebih kecil ( dilihat dari jumlah unit usaha di dalam dan output yang dihasilkan oleh sektor ) dibandingkan sektor-sektor yang sama di perkotaan. Perbedaan ini di tambah dengan tingkat pendapatan per kapita di pedesaan yang lebih rendah daripada di perkotaan membuat struktur pasar di pedeaan jauh lebih sederhana daripada di perkotaan. Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi passar juga relatif lebih kecil (kesempatan berusaha bagi individu lebih besar) di pedsaan dibandingkan di perkotaan.
3.      Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak tersebut bisa dalam beragam bentuk, di antaranya:
a.       Semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di pedesaan di luar sektor pertanian,seperti industri manufaktur ( kebanyakan dalam skala kecil,atau industri rumah tangga,perdagangan,perbengkelan dan jasa lainnya,serta bangunan ). Difersivikasi ekonomi pedesaan ini tentu menambah jumlah kesempatan kerja di pedesaan dan juga menambah pendapatan petani;
b.      Tingkat produktivitas dan pendapatan (dalam nilai riil) L di sektor pertanian meningkat,bukan saja akibat arus manusia dari sektor tersebut ke sektor-sektor lainnya di perkotaan ( seperti di dalam teori A.lewis ),tetapi juga akibat penerapan/pemakaian T baru dan penggunaan input-input yang lebih baik,misalnya pupuk hasil pabrik,dan permintaan pasar domestik dan X terhadap komoditas-komoditas pertanian meningkat;
c.       Potensi SDA yang ada di pedesaan semakin baik dimanfaatkan oleh penduduk desa(pemakaian semakin optimal ).
Selain studi di atas,studi dari BPS dkk.( 2001 ) juga menarik untuk secara garis besar disini. Mereka menganalisis perbedaan dalam keseenjangan pendapatan antara kelompok berpendapatan tinggi dan kelompok  pendapatan rendah di pedesaan dan perkotaan,koefisien G gini secara terpisah untuk keempat kelompok tersebut. Hasilnya disajikan di gambar 3.6, yang menunjukan bahwa kesenjangan pendapatan di dalam masyarakat yang tidak miskin lebih besar dari pada di dalam masyarakat miskin karna karna kelompok tidak miskin tersebut mencakup juga kelompok yang sangat kaya,dan oleh sebab itu perpedaan di perkotaan juga lebih besar dibandingkan di pedesaan. Kesimpulan dari gambar 3.6 adalah bahwa krisis ekonomi berdampak lebih besar dari masyarakat kaya dibandingkan pada masyarakat miskin.
Membaiknya distribusi pendapatan di pedesaan kemungkinan juga disebabkan oleh membaiknya tingkat upah/gaji ( W ) rata-rata per pekerja di pedesaan. Data dari susenas menunjukan bahwa selama periode 1986/1997, W rata-rata per L di pedesaan mengalami pertumbuhan lebih tinggi daripada di perkotaan.
     Sehingga, rasio W di pedesaan terhadap W di perkotaan mengalami peningkatan dari sekitar 57% tahun 1990 ke 65%  tahun 1997; walaupun masih lebih rendah dibandingkan rasio pada tahun 1986 (tabel 3.4). selain peningkatan W, menurunnya ketimpangan pendapatan di pedesaan relatif terhadap ketimpangan di perkotaan juga di pengarui oleh factor-faktor lain seperti perbedaan inflansi antara perkotaan dan pedesaan ,serta mobilisasi pekerja baik antarsektor di pedesaan maupun antar perkotaan dan pedesaan.
Tabel 3.4
Perubahan Tingkat W di Pedesaan dan perkotaan
1986-1997 (Rupiah Per Bulan)
Periode
Perkotaan (U)
Perdesaan (R)
Rasio R/U(% )
1986
1990
1997
88.073
115.835
288.498
59.237
66.395
186.753
67
57
65

Sumber .BPS (Sakernas)
2.      Kemiskinan
      Kemiskinan bukan hanya masalah indonesia, tetapi merupakan masalah dunia. Laporan dari bank dunia menunjukan bahwa tahun 1998 terdapat 1,2 miliar orang miskin dari sekitar 5 miliarlebih jumlah penduduk di dunia. Sebagian besar berada di Asiaselatan (43,5%) yang terkonsentrasi di india, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, dan Pakistan. Afrika sub – Sahara merupakan wilayah kedua di dunia yg padat orang miskin (24,3%). Di wilayah ini kemiskinan disebabkan karena iklim dan kondisi tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian ( kering dan gersang), pertikaian antar suku yg tidak ada henti-hentinya, manajemen ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yg bobrok. Wilayah ke tiga yg terdapat orang miskin adalah Asia Tenggara dan pasifik (23,2%). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama terdapat di cina, laos, indonesia, vietnam, thailand, dan kamboja. Sisanya terdapat di Amerika latin dan negara Karbia (6,5%), Eropa dan Asia tengah
(2,0%), serta timur tengah dan afrika utara (0,5%).

F.    Kebijakan Anti Kemiskinan
     Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan, perlu di ketahui bagaimana hubungan amaliah antara pertumbuhan ekonomi,kebijakan, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan.
Kebijakan antikemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan penting dari lembaga  dunia seperti Bank Dunia, ADB, UNDP, ILO dll. Pada tahun 1970, pada saat komite dari PBB utuk perencanaan pembangunan menyiapkan suatu deklarasi untuk dekade pembangunan kedua dari PBB. Komite tersebut mendeklarasikan bahwa penurunan kemiskinan lewat percepatan proses pembangunan,penyempurnaan distribusi pendapatan, dan perubahan-perubahan sosial lainnya ( kesempatan kerja, pendidikan,kesehatan, dan perumahan) sebagai tujuan terpenting dari suatu strategi pembangunan internasional yang tepat.
     Tahun 1990, Bank Dunia lewat lllaporannya World Development Report on poverty mendeklarasikan bahwa peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front: (i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin; (ii) pengembangan SDM ( pendidikan, kesehatan, dan gizi ) yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yg diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi; (iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka di antara penduduk miskin yg sama sekali tidak mampu untuk mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan kesempatan pengembangan  SDM akibat ketidak mampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial,dan teriolasi secara fisik.
     Pada tahun 2000, Bank Dunia muncul dengan kerangka analisis yang baru untuk memerangi kemiskinan yg dibangun diatas tiga pilar, yakni: pemberdayaan, keamanan, dan kesempatan. Pemberdayaan adalah proses peningkatan kapasitas dari penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga pemerintah yg mempengaruhi kehidupan mereka, dengan  memperkuat partisipasi didalam prose politik  dan pengambilan keputusan pada tingkat lokal. Keamanan adalah proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yg merugikan, lewat manajemen yg lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makro dan jg jaringan pengaman yg lebih komprehensif. Sedangkan kesempatan adalah proses peningkatan akses dari kaum miskin terhadap dua aset penting, yakni modal fisik dan modal manusia ( SDM) dan peningkatan tingkat dari pengembalian dari aset-aset tsb ( world Bank,2000c).
    Untuk mendukung strategi yg tepat dalam memerangi kemiskinan, di perlukan intervensi-intervensi pemerintah yg sesuai dengan sasaran / tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Intervensi jangka pendek seperti pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan. Intervensi lainnya yg bisa dimasukkan dalam kategori intrervensi jangka pendek adalah manajemen lingkungan dan SDA. Hal ini sangat penting karena hancrnya lingkungan dan habisnya SDA akan dengan sendirinya menjadi faktor pengerem proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, yg berarti juga sumber peningkatan kemiskinan. Pembangunan transportasi, komuniasi, energi dan keuangan, dan proteksi sosial ( termasuk sistem jaminan sosial ) juga merupakan intervensi jangka pendek yg sangat penting.
      Sedangkan intervensi jangka menengah dan panjang yang penting adalah sebagai berikut:
1.      Pembangunan / penguatan sektor swasta
2.      Kerjasama regional
3.      Manajemen pengeluaran pemerintah ( APBN) dan Administrasi
4.      Desentralisasi
5.      Pendidikan dan kesehatan
6.      Penyediaan Air bersih dan pembangunan perkotaan
7.      Pembagian tanah pertanian yang merata.


Sumber referensi :
1.      Buku perekonomian indonesia ( beberapa masalah penting ), Dr. Tulus T.H.Tambunan