Selasa, 24 April 2012

Indonesia Perlu Segera Tentukan Status Hukum Perjanjian Internasional

indonesia perlu segera menentukan status hukum perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional. Ketidakjelasan tentang hal ini telah menimbulkan kerancuan-kerancuan dalam praktik.

Demikian dikatakan oleh Eddy Pratomo saat mempertahankan disertasinya di depan sidang terbuka promosi doktor di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Jl. Dipati Ukur No. 35, Bandung, hari ini Selasa (26/4/2011).

Dalam sidang dengan promotor dipimpin oleh Prof. Dr. H. Yudha Bhakti, SH, MH, Eddy Pratomo, yang saat ini masih aktif menjabat sebagai Dubes RI untuk Republik Federal Jerman, berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dengan yudisium Cum Laude.

Dalam pidatonya yang memuat pokok-pokok disertasi berjudul "Status Hukum Suatu Perjanjian Internasional dan Ratifikasi Dalam Praktik Indonesia Dihubungkan Dengan Pengembangan Sistem Hukum Nasional" Eddy menyatakan bahwa Indonesia hingga saat ini belum memiliki politik hukum nasional yang tegas, padahal sejak merdeka Indonesia telah menjadi pihak pada ribuan perjanjian internasional.

Akibatnya dalam tataran praktik telah menimbulkan kerancuan tentang tiga permasalahan utama, yaitu: pengertian perjanjian internasional yang masih multi tafsir, status hukum perjanjian internasional, dan konsepsi atau makna ratifikasi.

"Kejelasan tentang status hukum perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional sangatlah penting, karena hal ini akan berpengaruh langsung terhadap penerapan dan implementasi ketentuan-ketentuan perjanjian internasional dalam ranah hukum nasional setiap negara," tegas Eddy.

Dicontohkan, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain," tidak memberikan kejelasan tentang politik hukum di bidang perjanjian internasional.

"Sebab Pasal 11 tersebut hanya mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Presiden dan DPR," terang Eddy kepada detikcom hari ini.

Penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dan International Monetery Fund (IMF) tahun 1998 telah memicu berbagai pertanyaan tentang pengertian, status hukum maupun proses ratifikasi suatu perjanjian internasional.

Walaupun hanya berbentuk LoI, tetapi perjanjian tersebut mengatur hal yang sangat mendasar bagi kepentingan fundamental ekonomi Indonesia. LoI IMF telah memicu perdebatan seru di kalangan ahli hukum maupun politisi Indonesia dan berakhir dengan munculnya amandemen terhadap Pasal 11 UUD 1945 yang tercermin dalam Ayat (2) yang berbunyi, "Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”.

Amandemen tersebut, lanjut Eddy, hanya merupakan respon terhadap persoalan politik pada waktu itu yakni perlunya perimbangan kekuasaan antara Presiden dan DPR dalam hal treaty making powers dan tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban terhadap akar masalah tentang perjanjian internasional.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 20/PUU-V/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) merupakan yurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia.

MK menyatakan bahwa kontrak kerjasama sebagai dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup Pasal 11 UUD 1945, sehingga hal ini dapat menjelaskan kepada khalayak.

"Mengingat pemahaman publik tentang pengertian perjanjian internasional masih sangat minim dan beranggapan bahwa semua perjanjian yang bersifat lintas batas negara dikategorikan sebagai perjanjian internasional".

Digarisbawahi juga sistem hukum nasional Indonesia yang belum mengatur secara tegas status hukum perjanjian internasional. Menurut Eddy, perlu penegasan politik hukum yang akan dipilih, apakah Indonesia mau menganut monisme atau dualisme (inkorporasi atau transformasi) atau kombinasi keduanya.

"Di beberapa negara, baik yang menganut sistem common law ataupun civil law, masalah pilihan politik hukum tersebut telah tuntas sejak akhir Perang Dunia II,".

Referensi    : http://news.detik.com/read/2011/04/26/173809/1626142/10/indonesia-perlu-segera-tentukan-status-hukum-perjanjian-internasional

BAB 5.HUKUM PERJANJIAN

1. Standar kontrak
Pengertian
 adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
— is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
— Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.

2. Macam-macam perjanjian

1) Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak, perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajibannya kepada satu pihak dan hak kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalkan hibah.
2) Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani
3) Perjanjian bernama dan tidak bernama
4) Perjanjiankebendaan dan perjanjian obligatoir
5) Perjanjian konsensual dan perjanjian real

3. Syarat sahnya perjanjian

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.

2.Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi lakilaki, 16 th bagi wanita.
Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.

3. Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.

4.Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

4. saat lahirnya perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
1. kesempatan penarikan kembali penawaran;
2. penentuan resiko;
3. saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
4. menentukan tempat terjadinya perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak

5. pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian
Pembatalan Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:

- Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

- Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.

- Terkait resolusi atau perintah pengadilan

- Terlibat hukum

- Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian

Pelaksanaan perjanjian

Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.

Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.


Referensi :
-http://evianthyblog.blogspot.com/2011/03/hukum-perjanjian-standar-kontrak.html
- http://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/18/saat-lahirnya-perjanjian/
- http://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/

Rabu, 18 April 2012

BAB 4. HUKUM PERIKATAN


 
A.    Pengertian Hukum Perikatan

Hukum perikatan adalah hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi. Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Didalam hukum perikatan yang dibahas adalah mengenai harta kekayaan bukan berbicara tentang hubungan manusia seperti hukum perdata.
Berikut ini merupakan beberapa definisi dari hukum perikatan :
1)      Hofmann
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
2)      Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
3)      Vollmar
Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.

a.       Jenis-jenis Perikatan
Perikatan dapat dibedakan menurut Isi daripada prestasinya :
1.      Perikatan positif dan negative.
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu. Sedangkan pada perikatan negative prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.
2.      Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
Adakalanya untuk pemenuhan perikatan cukup hanya dilakukan dengan salah satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai, misalnya perikatan untuk menyerahkan barang yang dijual dan membayar harganya.
Perikatan-perikatan semacam ini disebut perikatan sepintas lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan berkelanjutan. Misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan sewa menyewa atau persetujuan kerja.
3.      Perikatan alternative.
Perikatan alternative adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.
4.      Perikatan fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang objeknya hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat mengganti dengan prestasi lain. Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan memaksa prestasi primairnya tidak lagi merupakan objek perikatan, maka perikatannya menjadi hapus. Berlainan halnya pada perikatan alternative, jika salah satu prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa, perkataannya menjadi murni.
5.      Perikatan generic dan spesifik.
Perikatan generic adalah perikatan dimana objeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang objeknya ditentukan secara terperinci
6.      Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak. Pasal 1299 BW menentukan bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi. Baru timbul persoalan apakah perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak jika para pihak atau salah satu pihak dan pada perikatan terdiri dari satu subjek. Hal ini dapat terjadi jika debitur atau krediturnya meninggal dan mempunyai ahli waris lebih dari satu.
Akibat daripada perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap debitur atas keseluruhan prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan.


b.      Subjek-subjeknya :
-          Perikatan solider atau tanggung renteng.
Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng, jika berdasarkan kehendak para pihak atau ketentuan undang-undang :
-          Perikatan principle atau accesoire.
Apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikian rupa, sehingga perikatan yang satu sampai batas tertentu tergantung kepada perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan accesoire. Misalnya perikatan utang dan borg. Dalam satu persetujuan dapat timbul perikatan-perikatan pokok dan accesoire, misalnya pada persetujuan jual beli, perikatan untuk menyerahkan barang merupakan perikatan pokoknya, sedangkan kewajiban untuk memelihara barangnya sebagai bapak rumah tangga yang baik sampai barang tersebut diserahkan merupakan perikatan accesoire.

Dasar-dasar didalam hukum perikatan terdapat pada KUHP Perdata dimana didalamnya terdapat 3 sumber diantaranya adalah :
a.        Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
b.      Perikatan yang timbul karena undang-undang.
c.       Perikatan yang timbul bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan perwakilan sukarela.
Didalam hukum perikatan terdapat pihak yang memperoleh prestasi dan ada pihak pula yang berkewajiban untuk memnuhi prestasi. Didalam hukum perikatan yang menjadi subyek hukum adalah debitur dan kreditur sedangkan yang menjadi obyek hukum adalah prestasi itu sendiri.

Prestasi itu terdiri dari:
1.      Memberikan sesuatu: merupakan prestasi atau memberikan semuanhak milik.
2.      Tidak memberikan semua hak milik dan perbuatannya tidak termasuk memberikan sesuatu.
3.      Tidak berbuat sesuatu: wanprestasi

B.     Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.      Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a.       Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b.      Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
 
C.     Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1.      Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.      Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.      Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.      Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

D.    Wanprestasi dan aibat-akibatnya
 Wanprestasi
     Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.       Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.      Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wanprestasi
      Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.      Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi) Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.       Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c.       Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.      Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
1.      Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata

E.     Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1.      Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1)      Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2)      Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
2.      Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.
Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata,yaitu utang tersebut :
-          Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
-          Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
-          Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
3.      Pembebasan utang.
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
4.      Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
5.      Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu :
1.      batal demi hukum dan dapat dibatalkan.Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.
2.      Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
6.      Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
7.      Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1.      Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
2.      Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.



Sumber            :
5.      http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan


Rabu, 04 April 2012

BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani


    Sebagaimana diketahui, harga eceran bahan bakar minyak bersubsidi di dalam negeri tidak jadi naik pada awal April ini. Pemerintah bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter.
Keputusan politik yang diambil pada Jumat dini hari itu akhirnya memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) mengalami perubahan lebih dari 15 persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan posisi harga ICP yang telah melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah mungkin akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012 jika harga ICP tetap bertahan tinggi.
    Di satu sisi, masyarakat mungkin dapat terhibur dengan keputusan politik tersebut walaupun harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik. Namun, di sisi lain keputusan yang sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi (expected inflation) justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis memperkirakan laju inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun musim panen padi telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di atas 5 persen, apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan.
   Telah banyak bukti teoretis dan empiris bahwa ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi tingkah laku ekonomi yang menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan inflasi naik, yang juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung menanamkan modal pada investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan pokok, karena psikologi pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil atau negatif.
     Pengalaman empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain melonjak tinggi pada Juni-Agustus, terutama karena ekspektasi inflasi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik melampaui 10 persen karena ekspektasi pedagang dan konsumen terhadap kenaikan harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini, laju inflasi diperkirakan naik juga pada rentang musim kemarau tersebut karena panen padi telah selesai. Hanya sejumlah kecil petani yang mampu melakukan penyimpanan untuk keperluan pada musim paceklik.
     Pada Senin ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan laju inflasi bulan Februari, angka ramalan pertama produksi padi tahun 2012, dan beberapa statistik penting lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di Indonesia dihasilkan pada periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen sisanya pada panen gadu September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling mampu lebih tinggi dari 65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai target ambisius surplus beras 10 juta ton. Demikian pula sebaliknya, apabila panen raya sekarang ini tidak menunjukkan kinerja yang spektakuler, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tampak masih jauh dari kenyataan.

Dampak kesejahteraan petani
     Kalangan awam pun paham bahwa ekspektasi laju inflasi, apalagi jika disertai kenaikan harga BBM, akan menambah biaya pengeluaran masyarakat, tidak terkecuali petani. Ukuran yang paling kasar seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan memburuknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari 2012 tercatat 105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita petani padi (turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani hortikultura (turun 0,23 persen).
     Persoalan klasik di lapangan belum dapat ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok pengeluaran naik.
Tidak perlu disebut lagi bahwa penguasaan lahan petani Indonesia sangat tidak merata karena sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah tangga petani padi-palawija hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang. Petani skala kecil ini benar-benar menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari.
      Demikian pula dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari kelompok miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, terutama beras. Artinya, peluang terjadinya kemiskinan baru sangat besar apabila masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi laju inflasi yang cukup besar, terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan penanganan dampak yang demikian masif.
      Rencana strategi kompensasi dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan secara politik, tetapi sangat jauh untuk menanggulangi dampak kesejahteraan yang ditimbulkannya. Artinya, pemerintah masih memiliki waktu yang cukup untuk secara serius menyempurnakan skema perlindungan yang memadai bagi petani, nelayan, dan kelompok miskin lain.
     Demikian pula Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mungkin menjadi panduan secara administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara negara di Indonesia.



Sumber            :      
http://regional.kompas.com/read/2012/04/02/03422023/BBM.Ekspektasi.Inflasi.dan.Kesejahteraan.Petani