Sabtu, 16 April 2011

BAB 9. Swasembada Pangan

PENDAHULUAN

      SWASEMBADA PANGAN umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan KETAHANAN PANGAN lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.
     Jadi diversifikasi adalah bagian dair program swasembada pangan yang memiliki arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu non padi/nasi.
     Swasembada pangan berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:

1. Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.

2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.

3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.

4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SWSEMBADA PANGAN

       Program swasembada pangan, khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih  mementingkan impor ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam.
     Indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama.
     Namun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta paling gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis – terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan nonpertanian, terutama permukiman dan industri.
    Maka jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan kalaupun berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian hama, juga penyediaan berbagai input – produksi beras nasional sulit sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional boleh dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun. Padahal konsumsi nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat pasti dan begitu signifikan.
      Di lain pihak, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras meningkatkan produksi beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak mengenal lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target mereka bukan lagi sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi negara produsen beras terbesar di dunia.
       Dalam konteks seperti itu pula, Thailand dan Vietnam sering tampil menjadi “penyelamat” bagi Indonesia ketika persediaan beras di dalam negeri menyusut. Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber andalan bagi impor beras.
      Tapi celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi sekadar alternatif sementara. Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk mengamankan kebutuhan nasional. Di tengah produksi beras di dalam negeri yang cenderung stagnan atau bahkan terus menurun, sementara kebutuhan konsumsi mencatat grafik yang kian menanjak, pemerintah tidak cukup terlecut untuk bertindak habis-habisan menggerakkan upaya peningkatan produksi beras nasional. Pemerintah terkesan lebih merasa aman dan nyaman mengandalkan impor.
    Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009.
     Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.
     Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.
     Sedangkan upaya peningkatan produktivitas padi antara lain melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare, penanaman padi hibrida di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan intensifikasi non-PTT di 33 provinsi seluas 10,3 juta hektare.


HAMBATAN DALAM PROGRAM SWASEMBADA PANGAN

     Swasembada pangan terkendala pada keterbatsan lahan, swasembada pangan berkelanjutan pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi. Untuk jagung 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen dan beras 3,2 persen per tahun.
    Dalam Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan, mencapai target ini diperlukan peningkatan areal pertanaman. Dia mencontohkan, pada swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan 350.000 hektare (ha), kedelai 500.000 ha. “Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal lahan,” katanya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia.
       Kondisi ini, menjadikan satu lahan pertanian terpaksa untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman.
Jika menggenjot produksi kedelai, produksi jagung akan turun. Sebab, lahan diambil kedelai. Juga sebaliknya, karena kedua komoditas ini ditanam saling menggantikan.
    Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan itu. Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang dihadapi mencapai swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian.
       Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian. Sementara perubahan yang mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis itu.
 Menyinggung upaya pemerintah mengatasi persoalan keterbatasan anggaran, pemerintah mengembangkan program food estate atau kawasan pertanian skala luas dengan merangkul swasta, BUMN dan BUMD. “Food estate itu sebagai akselerasi, karena anggaran APBN terbatas. Orientasi ekspor, tetapi kalau kebutuhan dalam negeri berkurang, diutamakan mengisi kebutuhan dalam negeri.
 Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :
1. Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
2. Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
3. Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.

PROGRAM SWASEMBADA PANGAN PEMERINTAH SAAT INI

       Pada masa pemerintahan SBY dianggap gagal dalam hal swasembada pangan dan hanya dianggap keberhasilan yang semu,Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia. Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak menyukainya.
     Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah pusat dari semua hubungan pertalian sosial.
     Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya: 1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
      Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.
      Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar yaitu:
1)    Teknologi dan Pendidikan.
     Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
2)    Koperasi Pedesaan.
       Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.

3)    Prasarana.
       Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras.
Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.
Pada masa itu, petani dipaksa bekerja dengan program pertanian modern yang penuh dengan tambahan kimiawi yang merendahkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang. Para petani dipaksa bertanam dengan menggunakan sarana produksi pupuk, obat hama, benih, dan lain sebagainya yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan MNC/TNC yang mendapatkan lisensi pemerintah.
     Penggunaan saprodi produk perusahaan MNC/TNC tersebut harus dibeli petani dengan harga mahal dari tahun ke tahun. Akibatnya, biaya produksi pertanian selalu melambung dan tidak terjangkau oleh petani domestik. Ironisnya, harga jual produk pertanian terutama beras, dikontrol dan dibuat murah harganya oleh pemerintah.
     Pemerintah juga sering melakukan praktik dagang menjelang pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Stok beras di pasaran dibuat langka baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
-    Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
-    Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
      Kebijakan impor beras adalah pemenuhan kesepakatan AoA (Agreement on Agriculture) WTO yang disepakati oleh Presiden Soeharto tahun 1995 dan dilanjutkan pemerintahan penerusnya sampai sekarang. Butir-butir kesepakatan AoA terdiri dari :
1. Kesepakatan market access (akses pasar) komoditi pertanian domestik. Pasar pertanian domestik di Indonesia harus dibuka seluas-luasnya bagi proses masuknya komoditi pertanian luar negeri, baik beras, gula, terigu, dan lain sebagainya.
2. Penghapusan subsidi dan proteksi negara atas bidang pertanian. Negara tidak boleh melakukan subsidi bidang pertanian, baik subsidi pupuk atau saprodi lainnya serta pemenuhan kredit lunak bagi sektor pertanian. 3. Penghapusan peran STE (State Trading Enterprises) Bulog, sehingga Bulog tidak lagi berhak melakukan monopoli dalam bidang ekspor-impor produk pangan, kecuali beras.
      Dampak pemenuhan kesepakatan AoA WTO sangat menyedihkan bagi kondisi pertanian lndonesia semenjak 1995 hingga sekarang ini. Sektor pertanian di Indonesia mengalami keterpurukan dan kebangkrutan. Akibat memenuhi kesepakatan AoA WTO, Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1998 sebesar 4,5 juta ton setahun.
     Beberapa kalangan aktivis gerakan petani di lndonesia menyebutkan merosotnya produksi beras nasional semenjak tahun 1985-2009 dikarenakan problem warisan struktural pertanian masih melekat dalam kehidupan petani. Di antaranya, semakin banyak petani yang berlahan sempit (menjamumya petani gurem) dan tidak adanya kemajuan teknologi pertanian yang berorientasi ekologis.
    Menurut sebuah studi oleh Peter Timmer pada tahun 1975, Konsep kepemilikan lahan rata-rata memang agak kabur pada tingkat mikro karena adanya perbedaan besar dalam hal penggunaan dan kualitas lahan. Namun demikian, fakta yang perlu ditekankan adalah bahwa lebih dari dua pertiga populasi usaha tani hanya memiliki kurang dari setengah hektar lahan untuk bercocok tanam, bahkan mungkin kurang dari sepertiga hektar lahan”.
     Kemiskinan struktural di Indonesia juga dikemukakan oleh Geertz pada penelitiannya di tahun 1963, yang membawa pada gagasan shared poverty (kemiskinan yang ditanggung bersama). Pekerjaan dan pendapatan dari sektor pertanian dibagi-bagi kepada anggota keluarga, atau desa, sehingga semua mendapat pekerjaan dan makanan, namun tetap miskin.
      Geertz secara pesimis menyimpulkan bahwa barangkali tidak mungkin untuk memperbaiki pertanian Indonesia secara signifikan. Karena, tanpa mengubah struktur sosial secara besar-besaran, “Setiap usaha untuk mengubah arah perkembangannya, misalnya menabur pupuk di atas lahan pertanian di Jawa yang sangat sempit, irigasi modern, cocok tanam padat karya dan diversifikasi tanaman, hanya akan menumbuhkan satu hal: paralisis.”
    Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja, pemeliharaan, dan lain-lain.
     Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta, yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000 per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini.
     Presiden SBY adalah seorang doktor pertanian yang pernah menulis tesis tentang revitalisasi pertanian dengan beberapa kesimpulan, di antaranya:
1.    Untuk membangun kembali pertanian maka intervensi asing semacam IMF dan World Bank harus dinetralisasikan dari bidang pertanian.
2.    Pemerintah perlu mengorientasikan kebijakan fiskalnya untuk mendukung sektor pertanian.
3.    Pemerintah perlu memfasilitasi pengembangan pertanian yang berorientasi kepentingan petani dengan penerapan penuh sistem pertanian berkelanjutan. Namun sayangnya keyakinan atau ide cerdas SBY dalam disertasinya berbalik dengan realitas kebijakan ekonomi-politik pertanian yang direncanakan dan diimplementasikan.


Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain,
•    Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan.
•    Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :
•    Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.

•    Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.

•    Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.


Sumber:
•    Tambunan, Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
•    http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080409213724AAuJk0F
•    (  http://www.facebook.com/note.php?note_id=199620883868 )
•    http://www.batukar.info/news/swasembada-pangan-terkendala-keterbatasan-lahan
•    http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080409213724AAuJk0F

Kamis, 14 April 2011

BAB 8. MODAL ASING

PENDAHULUAN

Definisi Penanam Modal Asing (PMA) berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1970 tentang Penanam Modal Asing, adalah sebagai berikut :
               “Penanam Modal Asing adalah Penanaman Modal Asing secara langsung yang dilangsungkan atau berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanam Modal Asing dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko di penanaman modal tersebut.”
                Sedangkan berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adalah sebagai berikut : 
“Penanam Modal Asing adalah Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”
     Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka pengertian dari Penanam Modal Asing (PMA) pada dasarnya sama yaitu suatu kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh pihak asing/penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.


1.    Manfaat Bagi Negara Pemberi dan Negara Penerima
       Seperti halnya perdagangan internasional, mobilisasi K antar negara mempunayi manfaat bagi negara pengekspor maupun pengimpor K tersebut. Proyek I dengan tingkat pengembalian (return on investmen; ROI) yang tinggi disuatu negara tidak akan dikorbankan karena kelangkaan dana, sementara proyek I dengan hasil yang rendah di negara yang memiliki dana berlimpah dapat terus dilaksanakan.
     Manfaat yang dimaksud diatas dapat dijelaskan secara teoritis sebagai berikut. Misalnya ada dua negara, yakni yang memiliki modal berlimpah (sebut A) dan negara miskin (B). Kurva IA dan IB menunjukkan tingkat I dengan tingkat pengembaliannya yang berbeda atau keuntungan atas 1 dolar tambahan I di negara A dan B. Kurva tersebut berlereng menurun yang mencerminkan efisiensi marginal I. Kurva SA dan SB menunjukkan jumlah yang ditabung pada tiap pengembalian / keuntungan tabungan (tingkat suku bunga deposito) yang berbeda di kedua negara. Apabila tidak ada arus K antar negara, keuntungannya di A dan B masing-masing adalah sebesar rA dan rB. Setiap dolar yang berpindah dari Ake B akan mengakibatkan dilepaskannya keuntungan (opportunity cost) di A yang ditunjukkan oleh ketinggian kurva IA dan diperolehnya keuntungan di B yang ditunjukkan oleh ketinggian kurva IB. Sebagai contoh, setelah dana I sebesar CD dipindahkan dari A ke B, tambahan keuntungan bersih dari setiap dolar berikutnya adalah rB – rA. Dari gambar tersebut jelas terlihat bahwa terdapat keuntungan global dalam keuntungan I sampai pada akhirnya realokasi dana I tersebut menyamakan keuntungan dikedua negara. Apabila tingkat suku bunga di kedua negara sama, misalnya rE, dimana berdasarkan asumsi kelebihan I di B sama besarnya dengan kelebihan tabungan (S) atas I di A, maka keuntungan dari I internasional yang lebih baik akan berada pada titik maksimum. 

2.    Pembiayaan Devisit Tabungan-Investasi (S-I Gap).
      Bagi indonesia, K asing diperlukan bukan hanya untuk membiayai devisit TB (M) atau menutupi kekurangan CD, tetapi juga untuk membiayai I didalam negri (pembentukan modal bruto domestik).
       Pertanyaan sekarang adalah kenapa Indonesia selama ini sangat tergantung pada K asing untuk membiayai I di dalam negri? Jawabanya adalah karena dana yang bersumber dari S lebih kecil daripada kenbutuhan dana untuk I (S-I gap). Berdasarkan data BPS (National Account Statistics), Indonesia selalu kekurangan dana Domesstik dari S untuk membiayai I, terkecuali pada tahun-tahun tertentu jumlah S nasional lebih banyak dari pada nilai I domestik. Misalnya, tahun 1998, 1999, dan 2001 tabungan nasional bruto (SB) dan investasi domestik bruto (IB) tercatat masing-masing sebesar 21,6% dari 21,0%, 21,2% dan 17,6%,35,6% dan 30,3% dan 18,9% dari PDB.
     Ketergantungan pada K asing bukan hanya dialami oleh LDCs. Banyak juga DCs atau negara berpenghasilan menengah dan tinggi juga mengalami S-I gap. Seperti yang ditunjukkan oleh laporan ADB, negara-negara yang maju X-nya atau yang memiliki CD sangat besar seperti korea selatan, Taiwan, Cina<dan Singapura juga sering membiayai I di dalam negri dengan K asing. Hal ini bisa di karenakan banyaknya I asing (bukan K asing dalam bentuk pinjaman) yang masuk karena negara-negara tersebut sangat menarik untuk I.

3.    Perkembangan Arus Modal Masuk
      Data yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga dunia seperti bank dunia, UNINDO dan UNCTAD menunjukkan perkembangan arus I internasional dari DCs ke LDCs sangat pesat terutama sejak akhir 1980-an. Perkembangan ini ditandai oleh peningkatan partisipasi dari investor-investor dan lembaga-lembaga keuangan dari DCs di pasar uang / K di LDCs. Arus I dari DCs ke LDCs bahkan lebih besar daripada arus perdagangan antara kedua kelompok negara tersebut. Menurut Montiel (1993), Taylor, dan Sarno (1997), perkembangan ini didorong terutama oleh liberalisasi pasar uang dan K dibanyak LDCs termasuk indonesia menjelang akhir 1980-an yang antara lain menghapuskan pengawasan pemerintah terhadap lalulintas K dan membebaskan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.
     Berdasarkan data IMF, dari tahun 1994 hingga krisis ekonomi tahun 1998, arus K swasta neto (K masuk dikurangi K keluar) total (dunia) meningkat dari sekitar 160,5 ke 122miliar dolar AS. Kenaikan ini disebabkan terutama oleh peningkatan PMA neto dari 84,3 ke 119,6 miliar AS, sedangkan IP neto mengalami penurunan dari 87,8 ke 18,0 miliar dolar AS. Sebagian besar dari arus K swasta tersebut masuk ke LDCs, namun jumlahnya mengalami penurunan dari 136,6 miliar dolar AS tahun1994 menjadi 99,5 miliar dolar AS tahun1998.penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan IP neto yang cukup besar selama periode tersebut dari 85,0 ke 19,4 miliar dolar AS. Yang meningkat adalah PMA neto dari 75,4 ke 99,1 miliar dolar AS. Arus K resmi neto di dunia selama periode yang sama juga mengalami peningkatan dari -2,5 menjadi 37,0 miliar dolar AS, dan di LDC meningkat dari 9,1 ke 28,6 miliar dolar AS. Di Asia, dalam periode yang sama arus K swasta neto menurun drastis dari 63,1 ke 1,5 miliar dolar AS, yang disebabkan antara lain oleh krisis ekonomi.dari jumlah ini, PMA neto berkurang dari 43,4 menjadi 40,6 miliar dolar AS dan I jangka pendek berkurang dari 11,3 menjadi -7,0 miliar dolar AS. Sedangkan arus k resmi neto meningkat dari 6,2 miliar menjadi 24,7 miliar dolar AS, yang sebagian besarnya bersumber dari bantuan IMF terhadap negara-negara Asia yang terkena krisis,yakni Indonesia, Thailand, Filiphina, dan Korea Selatan.
      Negara Asia yang arus K asingnya paling besar adalah Cina yang tahun 1998 mencapai 45,8 miliar dolar AS dan tahun 2000 mencapai hampir 61,1 miliar dolar AS. Dengan masuknya cina ke WTO, diperkirakan arus K asing khususnya swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi karena memang selama ini Cina termasuk negara ekportir besar dunia, dan Cina sangat menarik bagi Investor asing karena upah buruh murah, Infra struktur cukup baik (terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar orang.
       Berbeda dengan negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan dan Singapura, sebagian besar dari arus K asing yang masuk ke Indonesia adalah K resmi, walaupun porsinya bervariasi antartahun. Hal ini menunjukkan bahwa peran K asing resmi lebih dominan dibandingkan K swsta sebagai sumber eksternal bagi pembiayaan S-I gap di Indonesia. Terutama sejak krisis ekonomi yang disusul dengan krisis politik dan sosial, peran K asing resmi semakin penting terutama dari IMF, Bank dunia dan CGI, sedangkan peran dari K swasta berkurang karena Indonesia menjadi tidak menarik lagi atau tidak aman bagi I.

4.    Arus Modal Resmi
      Arus K resmi baik dalam bentuk pinjaman maupun bantuan pembangunan’ (ODA) dari negara-negaqra donor secara individu (pinjaman bilateral) atau lewat konsorsiumseperti IGGI/CGI (pinjaman multilateral) atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia. Indonesia adalah negara yang paling tergantung pada K asing resmi. Tahun 1990 jumlahnya mencapai 3,1 miliar dolar AS, disusul oleh cina di tempat kedua dengan 2,4 miliar dolar AS. Tahun 1997 jumlah K asing resmi yang ditertima Indonesia tercatat sebesar 1,1 miliar dolar as,dan tahun 1998 dan 1999 jumlahnya meningkat hingga 3,3 dan 4,2 miliar dolar Asyang didoronfg terutama oleh bantuan khusus dari IMF dan Bank Dunia untuk membiayai pemuliahan ekonomi. Memang pada saat krisis, Indonesia sangat membutuhkan bantuan luar negri, terutama karena K asing swasta menurun sangat drastis. Pada saat I asing swasta mulai masuk lagi ke Indonesia, bantuan luar negri trerutama dalam bentuk bantuan pembangunan dan pinjaman dari IMF menunjukkan tren yang menurun.
       Bagian terpenting dari arus K resmi yang di terima oleh pemerintah Indonesia setiap tahun adalah bantuan pembanguan dalam bentuk pinjaman dengan bunga sangat murah dan persyaratan-persyaratan sangat lunak, maupun dalam bentuk hibah. Bantuan pembanguan ini digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembanguan, baik proyek maupun program. Ketergantungan pemerintah terhadap bangtuan pembangunan dari sumber eksternal berkorelasi negatif terhadap defisit keuangan pemerintah (anggaran pendapatan dan belanja negara ;APBN) yang dapat dijelaskan dalam suatu persamaan sederhana sebagai berikut.
BPN = G - TY
Di mana BPN = bantuan pembangunan neto, G = pengeluaran pemerintah; TY = pendapatan pemerintah. APBN surplus jika TY>G dan sebaliknya defisit jika G>TY. Persamaan tersebut menjelaskan bahwa apabila G>TY atau APBN defisit,arus BPN ke Indonesia positif, dan sebaliknya.
Karena defisit APBN di biayai oleh K asing resmi yang sebagian besar dalam bentuk pinjaman, maka semakin besar defisit APBN, semakin besar beban pemerintah dalam pembayaran bunga pinjaman, semakin besar defisit NJ (atau transfer neto) yang kalau lebih besar daripada surplus NP mengakibatkan semakin besar defisit saldo TB. Dengan kata lain, terdapat suatu korelasi antara APBN dan saldo TB yang dapat dijelaskan dengan beberapa persamaan berikut:
Y = C + G + I + X – M
Di mana Y = pendapatan atau PDB TB positif (surplus) bila X>M, dan negatif (defisit) jika X<M. Selanjutnya persamaan dari definisi Y tersebut di dapat persamaan berikut:
Y-C+TY = G + I + X – M 
atau S + TY = G + I + X – M
atau  S – I + TY = G + X – M
Apabila tidak ada S-I gap atau ekonomi internal seimbang (S=I), maka di dapat:
 TY – G (saldo APBN) = X-M (saldo TB)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa defisit TB mempunyai suatu korelasi yang kuat dengan arus K asing resmi atau BPN. Hal ini dibuktikan oleh penglaman pemerintahan indonesia selama pemerintahan Soeharto hingga sekarang.



Sumber Referensi:
•    Buku Perekonomian Indonesia Dr. Tulus T.H. Tambunan
•    http://makalah-ip.blogspot.com/

BAB 7. USAHA KECIL DAN MENENGAH

PENDAHULUAN

Pada pembahasan kali ini saya akan membahas mengenai usaha kecil dan menengah yang dimana Usaha kecil dan menengah termasuk usaha mikro. Sebagai badan usaha milik warga negara Indonesia baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan bersih. Dan tidak hanya itu UKM sebagai salah satu sumber pertumbuhan kesempatan kerja di Indonesia tidak hanya tercerminkan pada kondisi statis, karena jumlah orang yang bekerja dikelompok usaha tersebut jauh lebih banyak. Ukm di Indonesia sangat penting terutama dalam penciptaan / pertumbuhan kesempatan kerja, sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat/ RT miskin.



A.    DEFINISI
      Selama ini perkembangan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia mendapat perhatian serius baik dari pemerintah maupun kalangan masyarakat luas, terutama karena kelompok unit usaha tersebut menyumbang sangat banyak kesempatan kerja dan oleh karena itu menjadi salah satu sumber penting bagi penciptaan pendapatan. Selain itu, UKM juga berperan sebagai salah satu sumber penting bagi pertumbuhan PDB dan ekspor nonmigas, khususnya ekspor barang-barang manufaktur. Karena pentingnya tiga peran ini, maka secara metodologi, perkembangan UKM di dalam suatu ekonomi selalu diukur dengan tiga indikator, yakni jumlah L, NOL atau NT, dan nilai X dari kelompok usaha tersebut, baik secara absolut maupun relatif terhadap usaha besar.
     UKM tedapat di semua faktor ekonomi, termasuk di industri manufaktur dan perdagangan. Oleh karena industri dan dagang kecil (IDK) tergolong dalam batasan UK menurut Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang UK, maka batasan IDK didefinisikan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersil yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp 1 miliar atau kurang batasan mengenai skala usaha menurut BPS, yaitu berdasarkan kriteria jumlah L sudah mulai juga digunakan oleh Deperindag, yakni sebagai berikut. Industri dan dagang mikro (IDMI): 1-4 orang; industri dan dagang kecil (IDK): 5-19 orang; industri dan dagang menengah (IDM): 20-99 orang, dan industri dan dagang besar (IDB):100 orang atau lebih.


B.    PERKEMBANGAN JUMLAH UNIT DAN TENAGA KERJA DI UKM
       Selama tahun 1997-2001 jumlah unit usaha dari semuaskala mengalami peningkatan sebesar 430.404 unit dari 39.767.207 unit tahun 1997, menjadi 40.197.611 unit tahun 2001. Secara parsial, kelompok unit usaha yang paling banyak adalah UK, yang jumlahnya tahun 1997 sebesar 39,7 juta unit lebih dan tahun 2001 diperkirakan mencapai 40 juta unit lebih. Saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya pada tahun 1998, usha dari semua kategori mengalami pertumbuhan negatif, yang mana jumlah UK sendiri berkurang hampir 3 juta unit atau pertumbuhan sekitar -7,4%. sedangkan, UM dan UB mengalami pertumbuhan negatif lebih besar, yakni masing-masing 14,2% dan 12,7%. Perbedaan ini mengidentifikasi bahwa UM dan UB mengalami efek negatif lebih besar dibandingkan UK dari krisis ekonomi.
     Jumlah unit UKM bervariasi menurut sektor, dan terutama UK terkonsentrasi di pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Tahun 1997, jumlah UK di sektor tersebut tercatat 22.511.588 unit, dan tahun 1998 jumlahnya meningkat menjadi 23.097.871 unit, atau tumbuh 2,6% (dibandingkan UM yang tumbuh 1,2%) Variasi ini erat kaitanya dengan sifat alamiah yang berbeda antarsektor, misal dalam aspek-aspek pasar (voleme, struktur, dan sistem atau pola persaingan, perubahan harga, dan sistem distribusi); ketersedian input, kebutuhan dan ketersediaan teknologi; SDM dan modal; kebijakan sektoral dan ekonomi makro; dan bentuk serta tingkat persaingan antara sesama UKM dan antara UKM dengan UB dan produk-produk impor.
     Secara teori, perbedaan kinerja UKM di sektor pertanian dengan kinerja UKM di sektor industri pengolahan dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, UKM di sektor pertanian (atau usaha pertanian pada umumnya) tidak mengalami supply bottleneck akibat depresi rupiah seperti yang banyak dialami oleh UKM di sektor industri pengolahan. Alasan utamanya adalah karena UKM di sektor pertanian tidak terlalu tergantung pada impor bahan baku dan inputlainnya dan juga tidak pada kredit perbankan; sedangkan di sektor industri pengolahan banyak sekali UKM yang memakai bahan baku, alat-alat produksi dan input lainnya yang diimpor, serta yang membiayai produksinya dengan pinjaman dari bank atau daru UB lewat program-program kemitraan usaha yang dipelopori pemerintah pada zaman Soeharto. Selain itu, selama krisis banyak orang yang di PHK di sektor industri pengolahan, kembali ke desa asalnya dan membuka  pertanian skala kecil, dan ini tentu menambah jumlah unit UKM di sektor tersebut. Dari sisi permintaan,pasar domestik untuk komoditi-komoditi pertanian tetap besar,sekalipun pada masa krisis karena orang tetap harus makan; sementara pasar luar negeri semakin terbuka karena daya saing harga dari komoditi-komoditi petanian di indonesia mengalami peningkatan pada saat nilai tukar rupiah mengalami penurunan.
     Distribusi jumlah unit menurut skala usaha dan sektor menunjukkan bahwa di satu sisi, UKM memiliki keunggulan atas UB di pertanian, dan di sisi lain, dilihat dari jenis produk yang dibuat, jenis teknologi dan alat-alat produksi yang dipakai, dan metode produksi yang diterapkan, UKM di Indonesia pada umumnya masih dari kategori usaha ‘primitif’. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan UKM di negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan yang sangat unggul dalam produksi barang-barang jadi maupun setengah jadi seperti komponen-komponen mesin, otomotif, dan alat-alat elektronika.
      UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam penciptaan/pertumbuhan kesempatan kerja, menunjukan bahwa kelompok usaha ini mengerjakan jauh lebih banyak orang dibandingkan jumlah orang yang bekerja di UB.
Pentingnya UKM sebagai salah satu sumber pertumbuhan kesempatan kerja di indonesia tidak hanya tercerminkan pada kondisi statis, yakni jumlah orangyang bekerja di kelompok usaha tersebut yang jauh lebih banyak daripada yang diserap oleh UB, tetapi juga dapat dilihat pada kondisi dinamis, yakni dari laju kenaikannya setiap tahun yang lebih tinggi daripada di UB. Di dalam kelompok UKM juga terdapat perbedaan antara UK dan UM.


C.    NILAI OUTPUT DAN NILAI TAMBAH
      Peran UKM di Indonesia dalam bentuk kontribusi output terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB cukup besar, walaupun tidak sebesar kontribusinya terhadap penciptaan kesempatan kerja. Kontribusi NO atau NT terhadap pembentukan PDB jauh lebih besar dibandingkan kontribusi dari UM. Akan tetapi, perbedaan ini tidak dikarenakan tingkat produktivitas di UK lebih tinggi daripada di UM, melainkan lebih didorong oleh jumlah unit dan L yang memang jauh lebih banyak di UK dibandingkan di UM (dan UB).
Dari data BPS (statistik Indonesia 2001) mengenai NO dan NT dari UK di sektor industri manufaktur menurut kelompok industri (kode 31 s/d 39), ada beberapa hal yang menarik. pertama, NO atau NT bervariasi menurut subsektor, dan yang paling banyak (seperti juga ditunjukan oleh data dari sumber lain) yakni makanan, dan minuman, dan tembakau (31),tekstil dan produk-produknya (TPT), dan kulit serta produk-produknya(32), dan kaqyu beserta produk-produknya (33), yang memberi suatu kesan bahwa IK dan IMI pada umumnya lebih unggul di ketiga subsektor itu dibandingkan di subsektor-subsektor lainnya. Kedua, di beberapa kelompok industri seperti 31 dan 33, NO atau NT dari IMI lebih besar dibandingkan IK.
      sedangkan hasil SUSI (2000) menyajikan data mengenai nilai produk bruto (NO), biaya antara, dan upah serta gaji dari usaha tidak berbadan hukum. Dari selisih antara NO dan biaya antara, bisa didapat suatu gambaran mengenai besarnya NT yang diciptakan oleh kelompok usaha ini. Perdagangan besar,eceran, dan rumah makan serta jasa akomodasi merupakan sektor dimana usaha tidak berbadan hukum menghasilkan NO paling besar; disusul kemudian industri pengolahan. Disektor terakhir ini, NO dari IMI sedikit lebih kecil dibandingkan NO yang diciptakan oleh Ik. Didalam SUSI 2000, NO dan perhitungan NT-nya dari usaha tidak berbadan hukum juga di jaabarkan menurut wilayah.


D.    EKSPOR
      Selain kontribusinya terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan sebagai salah satu sumber penting pendapatan, UKM di Indonesia juga sangat diharapkan karena memang mempunyai potensi besar sebagai salah satu sumber penting perkembangan  (diversifikasi) dan pertumbuhan X, khususnya X manufaktur. Kemampuan UKM Indonesia untuk merealisasikan potensi X-nya ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor-faktor keunggulan relatif yang dimiliki UKM Indonesia atas pesaing-pesaingnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ekonomi/ perdagangan internasional, pengertian dari keunggulan relatif dapat didekati dengan keunggulan komperatif . keunggulan komporatif yang dimiliki Uk Indonesia terutama sifatnya yang padat karya (dan Indonesia memiliki jumlah L yang besar), keterampilan “Tradisional“ yang dimiliki pengusaha kecil (dan pekerja-pekerja) dalam mambuat produk terutama barang-barang kerajinan (yang merupakan keterampilan masyarakat yang sudah dimiliki lama dari generasi ke generasi), dan bahan baku yang berlimpah (khususnya produk berbasis pertanian). Sayangnya Uk di Indonesia relatif masih lemah terutama dalam SDM di banding manajemen, pemasaran, proses produksi yang modern atau lebih maju (diluar produksi secara tradisional), inovasi dan penguasaan teknologi.
     Hasil SUSI 2000, memberikan fakta empiris mengenai banyaknya usaha tidak berbadan hukum yang melakukan X (secara langsung maupun tidak langsung lewat perantara seperti pedagang, perusahaan perdagangan atau trading houses). Dari survei ini ada dua hal yang menarik. Pertama, dari 14.948 unit yang melakukan penjualan kepasar luar negri sebagian besar adalah dari kategori IK (13.191 unit), pola distribusi ini memberi suatu indikasi bahwa Ik lebih berorientasi X dibnbandingkan IMI. Hal kedua yang menarik adalah bahwa dari 20.454 unit yang melakukan X, tidak semuanya menjual 100% dari produk mereka ke pasar luar negri. Ada yang mengekspor sebagian kecil saja dari produk mereka dan sisanya dijual ke pasar domestik.
     Hasil  SUSI 2000 juga memberikan informasi mengenai distribusi dari 20.454 unit yang melakukan X menurut wilayah. Sebagian besar terdapat di jawa dan Bali, seperti yang di bahas sebelumnya erat kaitannya dengan kenyataan bahwa populoasi dari Uk di Indonesia terkonsentrasi di Jawa dan Bali. Hal yang menarik dari data ini bahwa tidak ada satu unit pun di kalimantan dan maluku serta Irian jaya yang melakukan X. Hal ini memberi kesan UK di kawasan Barat lebih maju dan lebih berorientasi ekspor dibandingkan rekannya dikawasan Timur (kecuali sulawesi dan nusa tenggara yang jumlahnya relatif kecil).


E.    PROSPEK  UKM DALAM ERA PERDAGANGAN  BEBAS DAN GLOBALISASI      PEREKONOMIAN DUNIA

      Bagi setiap unit usaha dari semua skala dan di semua sektor ekonomi, era
perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia di satu sisi akan menciptakan banyak kesempatan. Namun disisi lain akan menciptakan bamyak tantangan yang apabila tidak dapat dihadapi dengan baik akan menjelma menjadi ancaman. Bentuk kesempatan dan tantangan yang akan muncul tentu akan berbeda menurut jenis kegiatan ekonomi yang berbeda. Globalisasi perekonomian dunia juga memperbesar ketidakpastian terutama karena semakin tingginya mobilisasi modal, manusia, dan sumber daya produksi lainnya serta semakin terintegrasinya kegiatan produksi, investasi dan keuangan antarnegara yang antara lain dapat menimbulkan gejolak-gejolak ekonomi di suatu wilayah akibat pengaruh langsung dariketikstabilan ekonomi di wilayah lain.

1.    Sifat Alami dari Keberadaan UKM
       Laju pertumbuhan negatif dari jumlah UK lebih kecil dibandingkan apa yang dialami oleh UM dan UB. Perbedaan ini disuatu sisi memberi suatu kesan bahwa pada umumnya UK lebih “ tahan banting” dibandingkan dua kelompok usaha lainnya itu dalam menghadapi suatu gejolak ekonomi.
Relatif lebih baiknya UK dibandingkan UM atau UB dalam menghadapi krisis
ekonomi tahun tahun 1998 tidak lepas dengan sifat alami dari keberadaan UM, apalagi UB di indonesia. Sifat alami yang berbeda ini sangat penting untuk dipahami, agar dapat memprediksi masa depan UK atau UKM.
     Seperti dibanyak LCDs lainnya, UK di Indonsia didominasi oleh unit-unit usaha tradisional, yang di satu sisi, dapat di bangun dan beroperasi hanya dengan modal kerja dan modal investasi kecil dan tanpa perlu menerapkan sistem organisasi dan manajemen modern yang kompleks dan mahal, seperti di usaha-usaha modern (UB dan hingga tingkat tertentu UM), dan di sisi lain, berbeda dengan UM, UK pada umumnya membuat barang-barang konsumsi sederhana untuk kebutuhan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk membuat barang-barang tersebut, UK tidak terlalu memerlukan L dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi dan harus digaji mahal (tidak perlu memakai seorang manajer dengan diploma MBA atau yang memiliki diploma sarjana ekonomi atau seorang insinyur) dan tidak membutuhkan teknologi (T) canggih dalam bentuk mesin-mesin dan alat-alat produksi modern, oleh karena itu, tidak mengherankan bila melihat Indonesia adalah dari kelompok masyarakat berpendidikan rendah (SD), dan kebanyakan dari mereka menggunakan mesin serta alat produksi sederhana atau hasil rekayasa sendiri.
     Implikasi dari sifat alami ini bebeda dengan UM dan UB. UK sebenarnya tidak terlalu tergantung pada fasilitas-fasilitas dari pemerintah termasuk skim-skim krdit murah. Banyak studi yang menunjukan bahwa ketergantungan UK
terhadap modal dari sumer-sumber informal jauh lebih besar daripada terhadap
kredit perbankan karena berbagai alasan.

2.    Kemampuan UKM
      Dalm era perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia, kemajuan T, penguasaan ilmu pengetahuan, dan kualitas SDM yang tinggi (profesionalisme) merupakan tiga faktor keunggulan kompetitif yang akan menjadi dominan dalam menentukan bagus tidaknya prospek dari suatu usaha. Jika pengusaha kecil dan menengah Indonesia tidak memiliki ketiga keunggulan kompetitif tersebut bahkan, UKM indonesia akan terancam tergusur dari segmen pasarnya sendiri oleh produk-produk M dengan harga yang lebih murah dan kualitas serta disain yang lebih baik, seperti yang terjadi sekaarang dengan membanjirnya barang-barang dari Cina sampai kepasar-pasar tradisional.
     Pentingnya ketiga faktor keunggulan kompetitif tersebut dikombinasikan dengan faktor-faktor kekuatan lainnya yang sangat menentukan prospek UKM di masa depan. Didalam era perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia, lingkungan eksternal domestik dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yang merupakan tiga tantangan yang dihadapi oleh setiap perusahaan di Indonesia. Jika perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak siap, tantangan-tantangan tersebut bisa berubah menjadi Empat ancaman.  




Sumber:
•    Buku perekonomian indonesia Dr. Tulus T.H. Tambuan

Kamis, 07 April 2011

BAB 6. PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH


PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

PENDAHULUAN
            Menurut Barzelay dalam Kusaini (2006:62) Pemberian Otonomi daerah melalui Desentralisasi fiskal dam kewenangan daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu :

1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

            Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang memberi hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya. Jika dilihat dari sisi kualitasnya ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan maupun kesenjangan ekonomi/ pendapatan antardaerah/ provinsi.

A.    DISTRIBUSI PDB NASIONAL MENURUT PROVINSI
      Distribusi PDB nasional menurut wilayah atau provinsi merupakan indikator utama diantara indikator-indikator lain yang umum digunakan untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. PDRB yang relatif sama antar provinsi memberi suatu indikasi bahwa distribusi PDB nasional relatif merata antar provinsi, yang berarti kesenjangan ekonomi antar provinsi relatif kecil. Atau dapat dikatakan bahwa semakin besar perbedaan dalam pangsa PDB nasional antar provinsi, semakin besar ketimpangan dalam pembangunan ekonomi antar provinsi.
    Salah satu fakta yang memperhatinkan adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti DI Aceh, Riau dan kalimantan Timur lebih kecil lagi. 

B.      PDRB RATA-RATA PER KAPITA DAN TREN PERTUMBUHANNYA
       Karena tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan kesrejahteraan masyarakat, dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata per kapita, maka distribusi PDB nasional menurut provinsi menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan dalam pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per kapita.
   Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan sebaliknya di bawah 2 juta rupiah dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per kapita tinggi jika di atas 3% (dibandingkan tahun sebelumnya), dan rendah jika lebih kecil  dari 3%, provinsi-provinsi di Indonesia dapat dikelompokan ke dalam 4 kelompok. Provinsi-provinsi yang PDRB per kapita rendah, namun tingkat pertumbuhannya tinggi (kelompok 1) adalah kalimantan Barat , Jawa Timur, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, DI Aceh, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi-provinsi yang PDRB per kapita dan pertumbuhannya tinggi (kelompok 2) adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, kalimantan Selatan, Bali, Riau, dan Sumatra Utara. Sbagian besar dari provinsi-provinsi di dalam dua kelompok ini adalah daerah-daerah di Indonesia yang kaya SDA, SDM dan relatif baik dalam  penyediaan infrastruktur fisik. Yang masuk dalam kelompok 3, yakni PDRB per kapita tinggi tetapi tingkat pertumbuhannya rendah hanya Irian Jaya. Tingginya PDRB per kapita di provinsi ini disebabkan oleh adanya enclave pertambangan nonmigas (freeport). Provinsi-provinsi lainnya masuk ke dalam kelompok 4, yakni PDRB per kapita dan pertumbuhan rendah.
     Dari pengelompokkan tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya suatu polarisasi dari segi total produksi (PDRB) dan tingkat pertumbuhannya. DKI Jakarta dan Provinsi-Provinsi lainnya di kelompok 2 adalah wilayah-wilayah di Indonesia dengan tingkat pendapatan per kapita dan pertumbuhannya yang tinggi dibandingkan provinsi-provinsi di tiga kelompok lainnya itu. Yang sangat memperhatinkan adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa DI Aceh yang merupakan daerah pengekspor gas terbesar di dunia termasuk di dalam kategori wilayah dengan tingkat pendapatan per kapita rendah, walaupun pertumbuhannya tinggi.
    Sejak 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional di Indonesia  yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antarprovinsi. Dapat dikatakan bahwa pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, disusul kemudian oleh antara lain Hughes dan Islam (1995), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan  Khan (1986), Akita (1988), Akita dan Lukman (1995), Tambunan (1996,2001), Takeda dan Nakata (1998), Sjafrizal (1997-2000), dan Booth (2000). Walaupun data yang dipakai sama, yakni PDRB per kapita, namun pendekatan yang digunakan bervariasi antarstudi. Misalnya, Sjafrizal menganalisis ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat (IKB) dan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dan perbedaan dalam ketimpangan antarprovinsi antara kedua kawasan tersebut dengan memakai indeks Williamson yang disebut weighted coefficient of variation (WCV). Indeksini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut.
        WCV =  [ Yi – Y) 2Ni /N] / Y                   0<WCV<1
Dimana
 Yi   =    pendapatan per kapita provinsi i ;
 Y   =    pendapatan per kapita nasional, atau rata-rata PDRB per kapita untuk                                                                                                                                           semua provinsi ;
N i  =   jumlah penduduk di provinsi i;
N   =   jumlah populasi nasional
     Nilai indeks ini antara 0 dan 1 . Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut provinsi sangat merata (atau variasi PDRB per kapita antarprovinsi sangat kecil), dan sebaliknya bila mendekati 1 berarti tingkat disparitassangat tinggi.
     Dengan memakai data PDBR tanpa migas untuk periode 1971-1993hasil studinya tahun 1997 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antarprovinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 paling rendah hingga 0,392 paling tinggi. Disamping itu,sejak 1990 mulai terlihat adanya tendensi menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara terendah 0,396 hingga tertinggi 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di IKB.
    Studi empiris lainnya dari Bojonegoro (1999) dan Mahi (2000a). Berdasarkan hasil dari dua studi tersebut, tabel 4.5 menyajikan provinsi-provinsi yang PDRB per kapitanya 2 juta rupiah atau lebih selama periode yang diteliti. Indeks Williamson tahun 1995 tercatat sebesar 0,716, kemudian menurun sedikit  yang menandakan terjadi perbaikan. Krisis ekonomi tahun 1997 membuat indeks ini kembali memburuk menjadi 0,713.



Tabel 4.5
Provinsi-Provinsi dengan Tingkat PDRB Per Kapita
(Menurut Harga Konstan) Per Kapita 2 Juta Rupiah
dan Lebih: 1995, 1996, dan 1997
Provinsi
1995
1996
1997
DI Aceh
Sumatra utara
Riau
DKI Jakarta
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Bali
Irian Jaya
Vw

2,908

4,816
6,655
2,218

7,898
2,280
3,156
0,716
2,906
2,097
4,882
7,083
2,394
2,012
8,147
2,442
3,437
0,709
2,850
2,153
4,946
7,376
2,537
2,100
8,849
2,559
3,541
1,713

Sumber: dari Tabel 1 dalam Mahi (2000a)  
    Tadjoeddin dkk.(2001) menganalisis ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagreget dengan memakai data kabupaten /kota tahun 1996, menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers).
    Seperti yang dijelaskan di Tadjoeddien dkk. (2001) sebagai berikut. Pertama, nilai minyak dan gas bumi dikeluarkan dari PDRB semua kabupaten/kota, dan output pertambangan dikeluarkan dari PDRB kabupaten Fakfak. Setelah itu, angka PDRB per kapita menurut kabupaten kota tersebut di urutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Ternyata, 13 kabupaten kota teratas memiliki nilai PDRB per kapita yang sangat tinggi. Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki kekhususan dalam hal karakteristik ekonominya yang bisa digolongkan menjadi daerah kantong industri, perdagangan, dan jasa . oleh karenanya, pada langkah kedua ke 13 kabupaten/kota tersebut dikeluarkan dari analisis.
Tadjoedien dkk. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan antarindividu di dalam provinsi dan ketimpangan pendapatan antarprovinsi, dengan indeks Theil dan Indeks L. Hasilnya juga menunjukan kecenderungannya yang sama : adanya migas dan daerah daerah kantong memperparah ketimpangan regional di Indonesia. Bahwa berdasarkan dua indeks ini, kontribusi dari daerah kantong terhadap total indeks ketimpangan regional mencapai 60% hingga 70%.
Saldana (2003), proses mengejar ketinggalan juga bisa terjadi bila varian relatif di sekitar rata-rata produktivitas makin turun dari waktu ke waktu karena terjadinya pertumbuhan lebih cepat di wilayah-wilayah yang tadinya tertinggi. Abramovitz (1986) juga berpendapat bahwa jika perbedaan produktivitas relatif mengecil dari waktu-kewaktu, konvergensi juga akan terjadi.
Penelitian mengenai konvergensi di Indonesia dapat dikatakan masih sangat terbatas. Di antaranya adalah dari Saldanha (2003). Dalam penelitiannya untuk periode antara 1971-1994 Saldanha menggunakan tiga ukuran konvergensi, yaitu konvergensi-s,konvergensi-a,dan konvergensi-b, serta lima variabel yakni tingkat PDRB per kapita (atau PDB per kapita menurut provinsi) pada periode awal, pertumbuhan PDRB per kapita, anggaran belanja pemerintah per kapita, tingkat partisipasi sekolah menengah pertama (SMP) per kapita, dan angka harapan hidup. Konvergensi-s diindikasikan oleh penurunan deviasi standar dari PDRB per kapita. Jika standar dari PDRB perkapita turun dari wuktu ke waktu, maka konvergensi-s telah terjadi dan implikasinya adalah bahwa perbedaan PDRB per kapita antar provinsi telah mengecil. Menurut Saldanha (2003), penurunan deviasi standar maupun dispersi PDRB per kapita telah terjadi di Indonesia, paling tidak selama periode yang diteliti.

Tabel 4.10
Konvergensi-s Dalam Laju Pertumbuhan PDRB
Per kapita Antarprovinsi : 1971-1994
Tahun
Konvergensi-o(deviasi standar)
CV** (Dispersi)
1971
1975
1980
1985
1990
1`994
0,2082
0,1988
0,1914
0,1774
0,1753
0,1604
0,0661
0,0573
0,0533
0,0481
0,0463
0,0405

Keterangan :*) mencakup 26 provinsi;**) CV (koevisien variasi) = deviasi standar dibagi rata-rata yang mengukur dispersi
Sumber: Tabel 1.1 di Saldanha (2003)

C.     KONSUMSI RUMAH TANGGA PER KAPITA ANTAR PROPINSI
       Pengeluaran konsumsi C rumah tangga (RT) per kapita per propinsimerupakan salah satu indikator alternatifyang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraanpenduduk antarprovinsi.
Hipotensinya adalahsebagai berikut. Semakin tinggi pendapatan per kapitadi suatu daerah, semakin tinggi pengeluaran C per kapita di daerah tersebut.
Tentu dengan du asumsi: sifat menabung (S) dari masyarakat tidak berubah (rasio Sterhadap PDRB tetep tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam pengeluaran C RT juga konstan. Tanpa kedua asumsi ini, tinggi-rendahnya pengeluaran C RT  tidak selalu mencerminkan tinggi - rendahnya tingkat pendapatan per kapita di daerah tersebut. DENGAN memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per kapita, studi dari ECONIT (1999) menemukan adanya suatu polarisasi dalam distribusi C RT perkapita antarprovinsi. Sebagian besar provinsi di indonesia memiliki tingkat C RT per kapita yang rendah, yang dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari kenyataan bahwa hanya sebagaian kecil wilayah di indonesia yang menikmati hasil pembangunan ekonomi.
Selin perbedaan dalam tingkat pengeluaran C per kapita dan distribusinya menurut kelompok penduduk per provinsi, seprti yang telah di bahas si atas, variasi dalam pola C masyarakat antarprovinsi. Yang dimaksud dengan pola C adlah alokasi persentase pengeluaran untuk memenuhi C makanan vis-a-vis nonmakanan. Bila alokasi persenatsenya semakin mengecil menandakan kesejahteraan penduduk semakin hasil penghitungan  BPS , ternyata selama 1990-an alokasi persentase pengeluaraan c untuk makanan memperlihatkan besaran yang cenderung semakin naik,tidak hanya secara nasional, tetapi juga setiap provinsi;walaupun dengan laju yang berbeda antarprovinsi. Artinya, pada akhir tahun 1990-an, tingkat kesejahteraan penduduk secara nasional maupun provinsi mengalami penurunan.
D.    INDEKS PEMBSNGUNAN MANUSIA
      Indeks pembangunan manusia (IPM),atau dikenal dengan sebutan human development index (HDI) adlah indikator yang dgunakan intuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan kualitas dari hasil pembangunan ekonomi, yakni derajat pembangunan manusia. IMP adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator, yakni (a) kesehatan; (b) pendidikan yang dicapai,dan (c) standar kehidupan.  Jadi, jelas bahwa tiga unsur ini sangat penting dalm menentukan tingkat kemampuan suatu provinsi untuk meningkatkan IPM-nya. Ketiga unsur tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ketersediaan kesempatan kerja, yang pada gilirannya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah. Jadi, IPM di suatu provinsi akan meningkat apabila ketiga unsur tersebut dapat ditingkatkan, dan nilai IPM yang tinggi menandakan keberhasilan pembangunan ekonomi di provinsi tersebut.
E.      TINGKAT KEMISKINAN
       Presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan juga bagus digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi anatardaerah. Kalau dilihat distribusi dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih dari 55%-nya terdapat di pulau Jawa memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk yang memang di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan di provinsi-provinsi lain di tanah air. Fakta ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk (jumlah penduduk dibagi luas wilayah) dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2 , atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau lokasi untuk untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Hipotesa ini bisa bear dengan asumsi bahwa mobilisasi penduduk antardaerah tidak tinggi.
F.       KONTRIBUSI SEKTORAL TERHADAP PDRB
       Perbedaan tingakat pembangunan antarprovinsi dapat juga dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Secara hipotesis dapat dirumuskan bahwa semakin besar peran dari sektor-sektor ekonomiyang memiliki NT tinggi, seperti industri manufaktur terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi pertumbuhan PDRB diwilayah tersebut.
    Sektor-sektor ekonomi dapat dikelompokan ke dalam tiga kategori, yakni primer, sekunder, dan tersier. Yang termasuk sektor-sektor primer adalah pertambangan (termasuk penggalian) dan petanian; sekunder adalah industri manufaktur, listrik, gas, dan air bersih, serta bangunan; dan sektor-sektor lainnya adalah sektor-sektor tersier. Diukur dengan nilai tambah, sektor-sektor sekunder adalah sektor-sektor dengan nilai tambah terbesar ,khususnya karena kontribusi dari industri manufaktur; sedangkan terendah adalah sektor-sektor primer.
G. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN
     Sudah cukup banyak studai yang menganalisis faktor-faktor penyebab ketimpangan ekonomi anatarprovinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Aziz (1989), Hill dan Williams (1989), Sondakh (1994), Ibrahim (1974), Uppal dan Handoko (1988), Arsyad (1999), Akita dan Lukman (1999), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari smua studi-studi tersebut adalah bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antarprovinsi di Indonesia sebagai berikut.

1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
     konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan Orde Barumembuat secara  langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya di IKT. Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediannya infrastruktur dan letak geografis.
     Jadi, ada dua masalah utama dalam pembangunan ekonomi nasional selama ini. Pertama, semua kegiatan ekonomi terpusatkan di daerah tertentu saja, terutama di wilayah Jawa, dengan berbagai alasan, ekonomis maupun politis/strategis. Kedua, yang dimaksud dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Hal terakhir ini disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya, sebagaian besar input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukanya disuplai dari daerah, dan oleh karena itu,keterkaitan produksi ke belakang atau keterkaitan produksi antara industri hilir di Jawa dengan industri hulu di luar Jawa sangat lemah; sektor-sektor primer di daerah-daerah di luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa memprosesnya terlebih dahulu untuk mendapatkan NT, atau kalau memprosesnya terlebih dahulu dilakukan di Jawa sehingga Jawa yang menikmati NT-nya; dan kegiatan X yang bersumber dari daerah di luar Jawa (baik primer maupun dari industri hulu maupun industri tengah) pada umumnya dilakukan via Jawa (Jakarta atau Surabaya), sehingga hasil X lebih banyak dinikmati oleh Jawa. Keadaan di atas apabila terus dibiarkan, maka daerah-daerah di luar Jawa akan semakin rugi, atau dalam bentuk konkretnya akan semakin miskin, karena:
1. derah akan mengalami kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah sendiri untuk keperluan sendiri;
2.  akibat butir (1), daerah akan semakin sulit mengembangkan sektor-sektor nonprimer, khususnya industri manufaktur, atau akan semakin sulit mengubah struktur  ekonominya dari yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri;
3. akibat butir (2), tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah, berarti perkembangan pasar output semakin lemah, yang selanjutnya berarti semakin kecil perkembangan investasi di daerah.

     Faktor-faktor yang menyebabkan sebagian besar dari kegiatan industri di Indonesia tidak di luar Jawa karena keterbatasan-keterbatasan di kawasan  tersebut seperti pasar  lokal kecil, infrastruktur terbatas, serta kurang SDM.
2. Alokasi Investasi
     Indikator lain yang juga menujukan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita  di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seprti industri manufaktur.
     Dapat dibayangkan bahwa bila selama ini memang ada peralihan T, system manajemen dan know-how lainnya dari PMA terhadap ekonomi dan masyarakat lokal, tentu semua itu lebih banyak di nikmati oleh masyarakat dan dunia usaha di Jawa. Oleh karena itu, ketimpangan distribusi I antarprovinsi dapat dianggap sebagai salah satu factor utama yang mengakibatkan  terjadinya ketimpangan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi selama ini antarprovinsi di tanah air.

3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antardaerah
     Kurang lancarnya mobilitas factor produksi, seperti L dan K antaraprovinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antarprovinsi dapat lebih jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Dasar teorinya adalah sebagai berikut. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antarprovinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antarprovinsi sejak perbedaan tersebut, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas (tanpa distorsi yang direkayasa misalnya sebagai akibat dari suatu kebijakan pemerintah), mempengaruhi mobilitas atau (re) alokasi faktor produksi antarprovinsi. Sesuai teori penawaran L yang tak terbatas dari A. Lewis, jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antardaerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik (dalam pengertian optimal pareto : semua daerah menjadi lebih baik daripada sebelum terjadi perpindahan tersebut).
     Kerangakatori di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Pertumbuhan output agregat di suatu provinsi membuat pendapatan agregat di provinsi tersebut meningkat, yang selanjutnya, ceterius paribus, membuat permintaan C di pasar lokal meningkat. Sebagai respon terhadap peningkatan permintaan tersebut, volume produksi lokal meningkat, dengan asumsi bahwa kapasitas produksi tidak terbatas (persediaan faktor produksi dan T tidak terbatas) dan elastisitas pendapatan dari permintaan tidak berubah.

     Perbedaan SDA antarprovinsi
    Dasar pemikiran klasiksering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA. Hingga tingkat tertentu, anggapan ini masih bias dibenarkan, dalam arti SDA harus dilihat hanya sebagai modal awal untuk pembangunan, yang selanjutnya harus dikembangkan terus. Dan untuk maksud ini, diperlukan factor-faktor lain, diantaranya yang sangat penting adalah dan T dan SDM. 

     Perbedaan Kondisi Demografis antar wilayah
      Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antarprovinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepedatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Fektor-fektor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. 

      Kurang Lancarnya Perdagangan Antarprovinsi
     Kurang lancarnya perdagangan antardaerah juga merupakan unsure yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikas. Perdagangan antaraprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, marerial-material lainnya untukproduksi dan jasa. Jadi, tidak lancarnya arus barang dan jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran . dari sisi permintaan, kelangkaan akan barang dan jasa untuk konsumen mempengaruhi permintaan pasar terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya komplementerdengan barang dan jasa tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya mendapatkan barang modal seperti mesin dan alat-alat transportasi, input perantara, bahan baku atau material lainnya dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi lumpuh atau tidak beroperasi secara optimal, yang berarti pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita provinsi tersebut rendah.
H.   TEORI DAN MODEL ANALISIS PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
1. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

a. Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi disektor atau industri disuatu daerah yang menggunakan sumber daya prosuksi (SDP) lokal, termasuk L dan bahan baku dan output –nya dieksport akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi,peningkatan pendapatan per kapita dan penciptaan peluang kerja di daerah tersebut.
b. Teori Lokasi
teori lokasi juga sering digunakan untuk penentuan atau pembangunan kawasan industri di suatu daerah. Inti pemikiran dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha/produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
C. Teori Daya Tarik Industri
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertayakan,jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan (diunggulkan)?ini adalah masalah membangun portofolioindustri suatu daerah. Untuk menjawab pertayaan ini , mengikuti metodologi (kerangka pemikiran) dari kotler dkk.(1997), ada sejumlah faktor penentu pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri dari faktor-faktor daya tarik industri dan faktor-faktor daya  daya saing daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain sebagai berikut.
(1)   NT tinggi per pekerja (produktivitaas)
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting tidak haya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga terhadap pembentukan PDRB.
(2)   Industri-industri kaitan
Ini berarti (seperti yang telah dibahas sebelumnya) perkembangan industri –industri tersebut akan meningkatkan total NT daerah, atau mengurangi ‘kebocoran ekonomi’ dan ketergantungan inpor.
(3)   Daya saing di masa depan
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan industri yang bersangkutan.
(4)   Spesialisi industri
Sesuai dasar pemikiran dari teori-teori klasik mengenai perdagangan internasional, suatu daerah sebaiknya berspesialisasi pada industri-industri di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komperatif, dan berarti daerah tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan
(5)   Potensi X
Dasar pemikirannya sama dengan butir 4 atau 3.
(6)   Prospek bagi permintaan domestik
Dasar pemikirannya pada prinsipnya sama seperti butir 1, yakni memberikan suatu kontribusi yang berarti bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah melalui konsumsi lokal.

Sedangkan faktor-faktor penyumbangan pada daya tarik industri dapat dikelompokan ke dalam empat kelompok (Kotler dkk., 1997), yakni sebagai berikut.
(1)   Faktor-faktor pasar
Faktor-faktor ini antara lain ukuran pasar, ukuran segmen, kumci, laju pertumbuhan pasar, keragaman pasar,kepekaan terhadap harga dan eksternal,siklus dan musim, dan kemamapuan tawar menawar.
(2)   Faktor-faktor persaingan
(3)   Faktor-faktor keungan dan ekonomi
(4)   Faktor-faktor T
2. Modal Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Selain daerah-daerah di atas, ada beberapa  metode yang umum digunakan untuk menganalisis posisi realatif ekonomi suatu daerah;salah satu diantaranya adalah metode analisis shift-shre(SS),location quotients, angka pengganda pendapatan,analisis input-output(IO), dan model pertumbuhan Harrod-Domard.
a.      Analisis SS
analisis SS dianggap sebagai teknik yang sangat baik untuk menganalisis perubahan struktur ekonom i daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Metode analisis ini bertitik tolak dari dasar  pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah dipengaruhui oleh tiga komponen yang utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Komponen pertama adalah pangsa dari suatu propinsi dalam pertumbuhan ekonomi nasional, atau disebut komponen pertumbuhan ekonomi nasional atau bangsa regional (PR). Formula untuk menghitung PR dari suatu provinsi untuk sektor tertentu dapat diuraikan sebagai berikut (Akita dan Alisjahbana, 2002)
PRij =qij(  QN/QN)
Di mana:
qij   =  output dari sektor diprovinsi  j pada awal periode;
QN  = PDB pada awl periode; dan
QN = Perubahan PDB.

Komponen kedua adalah pergeseran proporsional atau pergeseran industry mix (PP), yang didasarkan pada pemikiran, bahwa suatu provinsi yang punya pangsa output relatif lebih besar di industri-industri yang tumbuh pesat harus tumbuh lebih cepat daripada nasional secara keseluruhan. PS untuk suatu sektor di suatu provinsi dapat di hitung sebagai berikut.
Ppij = qij [( Qi/Qi)- ( QN/QN)]
Dimana:
Qi = output nasionl disektor i pada awal periode;dan
Q = perubahan output nasional di sektor i.
Komponen ketiga disebut pergeseran daya saing atau pergeseran diferensial (PD) yang menentukan seberapa jauh daya saing dari suatu sektor di suatu provinsi, dibandingkan sektor yang sama secara nasional. PD untuk suatu sektor di suatu provinsi dapat diitung sebagai berikut.
Pdij = qij [(qij /qij) – ( Qi / Qi)]
Dimana : qij = perubahan output  regional (provinsi j) di sektor i
b.      Location quotients (LQ)
LQ adalah suatu teknik yang digunakan untuk memperluas metode analisis sebelumnya (SS), yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan ekonomi atau sektor di suatu daerah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan ekonomi / sektor yang sama pada tingkat nasional.
c.       Angka pengganda pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi kenaikan pendapatan suatu daerah dari  suatu kegiatan ekonomi yang baru atau peningkatan output  dari suatu sektor di daerah tersebut.
K =
Dimana :
MPC = proporsi pendapatan daerah yang dibelanjakan di daerah tersebut
PSY = bagian dari pengeluaran  daerah yang menghasilkan pendapatan daerah tersebut.
d.      Analisis input-output (I-O)
Merupakan salah satu metode analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam memahami kompleksitas perekonomian daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan antara AS dan AD. 
e.       Model pertumbuhan Harrod – Domar
Inti dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah suatu relasi jangka pendek antara peningkatan I dan pertumbuhan ekonomi. Secara lengkap model H-O terdiri dari sejumlah persamaan sebagai berikut.
S = s.Y
    Tabungan (S), terdiri dari tabungan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah, merupakan suatu proporsi (s) dari total output atau pendapatan (Y).
I = K
    I didefinisikan sebagai perubahan stok K. Stok K mempunyai hubungan langsung dengan output (Y), seperti yang di tunjukan oleh rasio output modal (COR) atau K:
(K/Y) = K    atau     K = k.Y
Dalam ekonomi yang seimbang ( salah satu asumsi penting dari model H-O ), maka:
S = I
Maka di dapat :
s.Y = K. Y
dan akhirnya pertumbuhan ekonomi (Y/)Y) di tentukan secara bersama oleh rasio tabungan (s) dan rasio output modal (k):  (Y/)Y) = s/k

2.      Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IPM di susun dari tiga komponen: kesehatan atau lamanya hidup (X1), di ukur dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan (X2), di ukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa ( dengan bobot 2/3) dan rata-rata lam sekolah ( dengan bobot 1/3); dan standar hidup atau tingkat kehidupan yang layak (X3), di ukur dengan pengeluaran per kapita yang telah di sesuaikan (PPP rupiah).


3.      Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
IKM adalah indeks yang merupakan kombinasi dari berbagai dimensi kemiskinan manusia yang di anggap sebagai indikator inti dari ukuran keterbelakangan manusia . indeks ini disusun dari tiga indikator: Indikator pertama di ukur dengan peluang suatu populasi untuk tidak bertahan hidup sampai umur 40 tahun (P1). Indikaator kedua di ukur dengan angka buta huruf penduduk usia dewasa (15 tahun ke atas ) (P2) yang di hitung dari data Supas 1995 dan Susenas 1998.





Sumber :
·         Tambunan, Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996