Minggu, 08 Januari 2012

Koperasi Tanggung Renteng


KSP/ USP Bukan Bank

 Paparan Koperasi Dan Sistem Tanggung Renteng
       Jumlah anggota yang banyak memang merupakan beban bagi menejemen. Karena banyak anggota banyak pula kepentingan yang terkadang merepotkan menejemen. Sekarang bagaimana keberadaan anggota justru bisa menjadi potnsi pendorong bagi perkembangan koperasi. Sebagaimana selalu disampaikan Prof. Dr. Nirbito, MP dalam berbagai kesempatan Koperasi memang beda dengan bank. Nasabah oleh bank diperlakukan layaknya konsumen sebagai pengguna jasanya. Tapi tidak demikian dengan koperasi. Dalam koperasi, anggota adalah nasabah dan sekaligus pemilik koperasi. Terkait dengan hal tersebut anggota juga berkewajiban untuk mempertahankan dan mengembangkan koperasinya. Maka suatu yang mustahil dengan posisi tersebut anggota tidak pernah berdialog dengan koperasinya.
      Memang tidak bisa dipungkiri, kadangkala koperasi khususnya KSP –USP koperasi memposisikan diri layaknya sebuah bank. Sehingga dalam hal ini anggota juga memposisikan dirinya layaknya nasabah. Anggota sebagai penghutang dan koperasi sebagai lembaga pelayanan hutang. Hubungan antara koperasi dan anggotanya hanya sebatas dalam masalah hutang – piutang. Tak mengherankan bila kemudian muncul fenomena dimana masyarakat memposisikan KSP-USP koperasi sebagai bank. Dan motivasi utama menjadi anggota koperasi adalah sekedar.berhutang dengan cara lebih mudah. Anggota yang demikian biasanya juga tidak pernah peduli terhadap keberadaan koperasinya. Pokoknya selama kebutuhan berhutangnya terpenuhi, masalahpun beres. Sehingga selama kebutuhan anggota untuk berhutang terpenuhi dan selama koperasi bisa memutar dan mengembangkan modalnya, dianggap tidak ada masalah.
       Seperti yang ditengarai oleh Menegkop & UKM sebagaimana disampaikan dalam sambutannya pada peringatan Hari Koperasi ke 60. Menguatnya globalisasi ekonomi menimbulkan tantangan terhadap koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berbasis orang (Member Based Association). Banyak pihak yang mulai meragukan efektivitas nilai dasar koperasi dan prinsip-prinsip yang ada dalam menghadapi tantangan baru dari kekuatan modal. Sehingga banyak koperasi yang mulai menerapkan manajemen perusahaan yang berbasis modal. Akibatnya kepentingan anggota dirugikan dan eksistensi koperasi menjadi kabur karena tidak berada dalam koridor jati diri koperasi.
       Dari fenomena tersebut munculah dua kepentingan berbeda namun sebetulnya saling terkait. Kepentingan dari sisi anggota, bagaimana bisa berhutang yang terkadang ada juga yang mau enaknya sendiri. Sementara dari sisi koperasi, bagaimana kapital bisa berkembang dengan resiko seminimal mungkin.
Sebetulanya hal tersebut bukanlah pertentangan. Bukankah koperasi terbentuk karena ada tujuan yang sama dari orang-orang. Dalam hal ini orang-orang bergabung membentuk koperasi agar tujuan yang sama tersebut lebih mudah dicapai. Setelah koperasi terbentuk, orang-orang tersebut memilih diantara mereka untuk jadi pengurus yang akan mengelola koperasinya. Dengan demikian pengurus sebagai pengelola mengemban amanah agar tujuan bersama bisa tercapai. Tujuan inilah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk layanan kepada anggota. Dan fungsi pengelola dalam hal ini adalah bagaimana pelayanan pada anggota bisa terus ditingkatkan. Dengan demikian koperasi sebagai lembaga juga tertuntut agar bisa terus berkembang.
Bagaimana agar koperasi bisa terus berkembang tanpa meninggalkan jati dirinya. Tentu partisipasi anggotanya sangat dibutuhkan. Hal inilah yang harusnya selalu dikomunikasikan kepada anggota. Setidaknya anggota setiap tahun saat Rapat Anggota dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan perjalanan koperasinya.
       Dalam sistem tanggung renteng, komunikasi antara koperasi dan anggotanya bisa terjalin secara rutin dan berkala. Apa yang terjadi dalam koperasi disampaikan saat peremuan kelompok oleh PPL atau pengurus sendiri untuk koperasi yang belum memiliki PPL. Karena dalam system ini mengharuskan anggota untuk terhimpun dalam kelompok. Dan sebagai bukti keberadaan kelompok tersebut, harus mengadakan pertemuan rutin secara berkala. Dalam pertemuan inilah dilakukan interaksi antar anggota maupun antara anggota dan koperasinya. Cuma permasalahannya bagaimana membangun interaksi berkualitas dalam kelompok. Artinya, interaksi dalam kelompok tersebut bisa mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan diri anggota dan juga koperasinya. Bagi anggota, interaksi dalam kelompok sebagai wahana pembelajaran untuk meningkatkan kualitas diri. Baik peningkatan secara ekonomi maupun intelektualnya. Sehingga manfaat berkoperasi dirasakan tidak hanya sekedar sebagai tempat berhutang. Dengan anggota yang merasa mendapat manfaat dari berkoperasi maka akan meningkat pula partisipasi anggota pada koperasinya.
Hal demikian memang sudah sering didengung-dengungkan. Tapi tidak bisa dipungkiri untuk mewujudkan hal itu juga tidak mudah. Anggota adalah orang dewasa yang tidak mudah begitu saja diatur-atur. Orang dewasa terkadang punya kepentingan yang bersebrangan dengan kepentingan bersama secara kelembagaan. Kepentingan diri lebih ditonjolkan dengan mengabaikan kepentingan bersama.
      Disinilah sistem tanggung renteng yang akan menyelaraskan antara kepentingan anggota secara individu maupun kelompok dengan kepentingan koperasi. Tapi sistem ini juga tidak akan efektif bila tidak diimbangi dengan pendampingan atau pembinaan secara terus menerus. Fungsi pendampingan dan pembinaan ini bisa dilaksanakan pengurus secara langsung untuk koperasi yang kelompoknya masih belum banyak. Bila kelompok sudah banyak maka fungsi tersebut bisa didelegasikan pada PPL (Pembina Penyuluh lapangan).
Permasalahannya, pendampingan atau pembinaan anggota dalam kelompok tidaklah sama dengan seorang guru mengajar murid. Atau seorang ustad yang mengajar santrinya. Bila hal ini dilakukan oleh pendamping atau pembina, jelas apa yang dilakukan tidak akan efektif. Karena yang dihadapi adalah orang dewasa dengan karakteristik yang jelas beda dengan anak.
       Disisi lain sering kali kehadiran PPL sebagai pendamping atau pembina berubah fungsi menjadi juru tagih dari koperasi. Kalau sudah demikian, koperasi tak ubahnya sebagai bank dan PPL sebagai debt collector-nya. Walaupun koperasi tersebut telah mendeklarasikan dirinya sebagai koperasi yang menerapkan sistem tanggung renteng. Itulah sebabnya sistem tanggung renteng tidak hanya sebagai system pengaman asset dari koperasi. Tapi juga sebagai sistem yang bisa merubah sikap dan perilaku anggota menjadi bertanggung jawab. Dengan rasa tanggung jawab itulah yang pada gilirannya akan menjadi jaminan bahwa asset koperasi akan aman. Karena memang dana yang disalurkan pada anggota dengan sistem tanggung renteng hanya mengandalkan jaminan moral dari anggota. 
     Dengan demikian, pembinaan dan pendampingan yang dilakukan tidak sekedar bertujuan agar angsuran pinjaman bisa terbayar lengkap secara kelompok. Tapi juga bagaimana pembinaan bisa menyentuh kesadaran anggota agar bisa menjadi bertanggung jawab. Baik pada diri sendiri, kelompok maupun koperasinya. Kalau kesadaran ini bisa muncul dan teraplikasi dalam prilaku serta tercermin pada keputusan yang diambil maka dengan sendirinya asset koperasi akan aman.



 Referensi :
http://koperasi-tanggungrenteng.com/koperasi/ksp-usp-bukan-bank

Sabtu, 07 Januari 2012

Koperasi Sebagai Badan Usaha Dan Perbedaan Koperasi Dengan Badan Usaha Lain


A. KOPERASI SEBAGAI BADAN USAHA
 
     Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Mengenai Koperasi ini diatur dalam UU No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian juncto Perda Sumatera Utara No.7 Tahun 2004 Tentang Pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Berdasarkan hal tersebut di atas, permasalahan yang dikemukakan adalah bagaimana sebenarnya prosedur atau tata cara pendirian Koperasi yang diatur oleh UU No.25 Tahun 1992 jo Perda Sumatera Utara No.7 Tahun 2004 khususnya pada Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Propinsi Sumatera Utara?; apa saja syarat-syarat agar suatu kelompok individu dapat mendirikan Koperasi yang berperan sebagai anggota Koperasi serta modal awal yang harus tersedia untuk mendirikan suatu Koperasi;
      Bagaimanakah hubungan kerjasama Koperasi dengan BUMN dan Bank guna mendapatkan Dana Bergulir yang merupakan pinjaman dari Pemerintah yang dipergunakan sebagai modal awal suatu Koperasi. Untuk itu metode yang digunakan adaiah metode library research dan field research. Hasilnya adalah bahwa proses pendirian Koperasi yang diterapkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Propinsi Sumatera Utara telah mempunyai prosedur dan landasan hukum yang kuat yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 juncto Peraturan Daerah Sumatera Utara No.7 Tahun 2004.
      Dalam rangka mensejahterakan anggotanya, maka sebelum mendirikan Koperasi, maka suatu Koperasi harus memiliki modal awal. Suatu Koperasi dapat membina suatu kerjasama dengan badan usaha bukan Koperasi seperti BUMN dan Bank guna mendapatkan Dana Bergulir dari Pemerintah. Untuk itu disarankan agar Perundang-undangan mengenai Tata Cara Pendirian Koperasi seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.25 Tahun 1992 juncto Peraturan Daerah 2004, dapat disosialisasikan dengan baik agar seluruh lapisan masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan perekonomiannya. Agar Koperasi benar-benar memperhatikan peningkatan kesejahteraan anggotanya. Hendaknya setiap Koperasi dapat mengembangkan kegiatannya dengan mengikat kerjasama yang erat baik kepada BUMN dan Bank. Dan dana yang diberikan harus dipergunakan secara efektif, efisien dan terarah.

B. PERBEDAAN KOPERASI DENGAN BADAN USAHA LAIN

    Koperasi memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan badan usaha lain. Ikatan Akuntan Indonesia telah menetapkan Standar Akuntansi Keuangan terhadap praktik akuntansi badan usaha koperasi, yaitu PSAK NO.27. Koperasi merupakan badan usaha yang bertujuan mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dalam praktik usahanya koperasi tidak hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, akan tetapi lebih mengutamakan pelayanan terhadap angota atau lebih mengutamakan kesejahteraan anggotanya. Modal koperasi antara lain terdiri dari simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, dan cadangan-cadangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa koperasi dibiayai dan dikelola oleh anggotanya sendiri .
     Laporan keuangan badan usaha koperasi menurut PSAK N0.27, adalah terdiri dari Neraca, Laporan Perhitungan Usaha, Laporan Promosi Ekonomi Anggota, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Yang paling membedakan laporan keuangan badan usaha koperasi dengan badan usaha lainnya, antara lain dapat terlihat dari adannya laporan promosi ekonomi anggota dalam koperasi sedang pada usaha lain, laporan keuangan tersebut tidak ada. Laporan promosi ekonomi anggota merupakan laporan keuangan yang menggambarkan manfaat-manfaat yang diterima oleh anggota dari badan usaha koperasi bersangkutan. Hal tersebut timbul karena anggota koperasi mempunyai identitas ganda (the dual identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik juga sekaligus sebagai pengguna jasa dari koperasi bersangkutan (user own oriented firm). Koperasi akan lebih mengutamakan pelayanan terhadap anggotannya dibandingkan dengan pelayanan terhadap non anggota.
    Dalam koperasi, pencatatan transaksi yang berasal dari anggota dan pencatatan transaksi yang berasal dari non anggota harus dipisahkan. Dengan demikian praktek akuntansi dan penyajian laporan keuangan yang diselenggarakan oleh suatu badan usaha koperasi akan berbeda dengan praktek akuntansi badan usaha lainnya. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang ada dalam badan usaha koperasi.




Referensi :
www.wartawarga.gunadarma.ac.id

Selasa, 03 Januari 2012

PASANG SURUT PERKEMBANGAN KOPERASI INDONESIA



       A.  Pengalaman Koperasi Di Indonesia
                  Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
             Selama ini “koperasi” di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja  terbesar ba­gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD  sebagai koperasi program  di sektor pertanian didukung dengan program pem­bangunan  untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se­lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik  pem­bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
   
B.     Pengalaman Umum Kemajuan Koperasi : Mencari Determinan 

          Sejarah kelahiran koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang terjadi di Perancis dan Belanda kemudian produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan anggota yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah melewati garis kemiskinan. Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di Inggris sudah berada pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi pendidikan dimulai pendapatan per kapita di Denmark berada pada kisaran US$ 350,-. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
Syarat 1 : "Skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi".
         Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit.
Syarat 2 : "Harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi".
 
          Di manapun baik di negara berkembang maupun di negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara spesial terdapat  contoh yang lain seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di Amerika Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
Syarat 3 : "Posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli   menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi".
 
        Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
        Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol sosial yang menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Syarat 4 : “Pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)”.
 
C.     Potret Koperasi Indonesia
           Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.
       Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program  pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta  menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha  terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
      Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
       Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan  terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang jasa lainnya.
        Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini  telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.



 Referensi:
http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/PAS.SURUT.PERK.KOPERASI-Yog.htm

Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah


       Implementasi undang-undang otonomi  daerah, akan mem­berikan dampak positif  bagi koperasi dalam hal alokasi sum­ber daya alam dan pelayanan  pembinaan lainnya. Namun kope­rasi akan semakin menghadapi masalah  yang lebih intensif de­ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi  inves­tasi  dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi  akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan  yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom.
        Peranan advo­kasi oleh gerakan koperasi  untuk memberikan orientasi kepa­da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi  harus mampu menjalankan fung­si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
         Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
           Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha­dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre­dit  bagi koperasi dan usaha  kecil  di daerah. Dengan demi­kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi  di dae­rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah  Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi pengem­bangan ekonomi rakyat  dan dalam jangka panjang  akan me­num­buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope­rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
 
           Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi  yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa  keuangan, pelayanan  infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi  selain peluang untuk memanfaatkan potensi  setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi  keuangan, pengem­bangan jaringan  informasi  serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi  merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintah  di daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kredit  di daerah.
            Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.  
                     Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia. 
            Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.   



Referensi:   
 http://www.smecda.com/deputi7/menu/makalah.asp