Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia
Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.
Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.
1. Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law and public policy including economic regulation of business; antitrust enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in economics is required; relevan economic concepts will developed through analysis of various legal applications.
2. Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma dalam ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
- Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments) terbukti kurang efektif.
- Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.
- Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger, cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan.
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan, maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade competition in the American economy. … It provides guidance to business and industry on what they may do under the laws administered by the commission. It also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual data on economic and business conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk lembaga baru.
Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia. Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
Sumber Referensi : http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar