Dalam peradapan baru dunia
global, kemajuan tekhnologi dan informasi menjadi infrastruktur
penopang bergeraknya globalisasi dan liberalisasi ekonomi (baca
neoliberal). Sebagai contohnya keberadaan pasar maya yang merupakan
sistem dan tatanan baru bagi keuangan internasional yang kemudian
banyak disebut dengan disebut dengan pasar modal dan pasar uang.
Kemajuan elektronik global, membuat para pemegang modal diberbagai
sektor seperti keuangan, perbankan, investasi langsung dan lain-lain,
dengan mudahnya dapat memindahkan modalnya dalam jumlah besar dari
negara yang lain ke negara yang lainnya hanya dengan memencet mouse
kompiuter dengan jaringan internet yang terakses langsung disemua
negara di dunia.
Sehingga dengan mudahnya mereka malakukan intervensi
terhadap perekonomian satu negara bahkan satu kawasan. Karena
pergerakan aliran lalu lintas modal global sangat mempengaruhi pasar
modal dalam satu negara. Selain itu terpakunya standar pertukaran
internasional hanya pada dollar AS, mempunyai kecenderungan untuk
mempengaruhi perputaran dan pergerakan pasar uang global.
Sistem dunia akan terus bergerak dan mempunyai
kecenderungan untuk bergerak linier yang akan berproses secara
kompleks serta akan selalu memunculkan kontradiktif atau
pertentangan. Sistem dunia juga akan merasuki semua aspek kehidupan
manusia dan negara, sehingga ada kecenderunagn suatu negara tak
terkecuali Indonesia akan kehilangan sebagian kekuatan ekonominya.
Dilain pihak globalisasi akan mendorong kekuatan-kekuatan lokal (baca
kearifan lokal) untuk mampu bertahan dalam dunia yang menglobal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Anthony Giddens,
“Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar,
seperti tatanan keuangan dunia, globalisasi bukan sekedar apa yang
ada diluar sana terpisah, dan jauh dari orang perorang. Ia juga
merupakan fenomena di sini yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan
kita yang intim dan pribadi. Perdebatan mengenai nilai-nilai keluarga
yang tengah berlangsung di banyak negara misalnya, mungkin terkesan
sangat jauh dari pengaruh globalisasi. Tidak demikian halnya,
dibanyak belahan dunia, sistem keluarga tradisional kian berubah atau
terdesak khususnya setelah kaum perempuan menuntut kesetaraan yang
lebih besar. Sepanjang yang kita ketahui dari catatan sejarah, belum
pernah ada masyarakat yang kaum perempuannya hampir setara dengan
pria. Ini sunguh merupakan revolusi global dalam kehidupan
sehari-hari yang konsekwensinya dirasakan diseluruh dunia , dari
wilayah kerja hingga wilayah politik”. (Anthony Giddens : 2001)
Keberadaan Indonesia tidak lepas dari pergerakan di
luar apalagi dalam dunia yang menglobal. Dinamika perpolitikan
internasional yang akan mendorong semakin menguatnya trend global
kedepan dan trend ini tentunya akan terus berubah mengikuti irama
pasar. Sistem dunia yang didukung sepenuhnya negara-negara di dunia
pertama, sehingga mereka memainkan peran setrategis setiap
pengambilan kebijakan mengenai aturan-aturan internasional melalui
lembaga-lembaga tertentu. Sebagai contoh adalah adanya ISO
(international Standart Organisation) yang menjadi salah satu aturan
internasional dalam perdaganan barang lintas negara. Cara pandang
penetapan aturan dengan mengunakan cara pandang barat, yang sudah
barang tentu berbeda dengan cara pandang, kondisi dan potensi yang
dimiliki oleh negara-negara di dunia ketiga. Aturan seperti ini sudah
barang tentu akan mengalalahkan daya saing negara-negara ketiga,
karena aturan ISO memiliki kecenderungan untuk menghadapkan pada
hokum besi mekanisme pasar.
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada
semua pihak untuk berinteraksi secara setara dapat di terima. Tetapi
dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang kita temui ini,
dijumpai sebuah kondisi dimana prinsip kesetaraan tidak ada, atau
terjadi interaksi yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang
dipandu dengan sistem monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan
ruang bagi ekonomi kecil untuk survive. Para pemilik modal besarlah
yang memiliki kesempatan emas untuk bermain dalam sistem ini.
Keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas
dengan diresmikannya AFTA, tetapi jika di analisis lebih dalam
Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak dihadapan modal-modal asing
raksasa. Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya sektor-sektor
ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak akan di kuasai oleh
segelintir individu yang dengan laluasa akan dapat
memainkannya untuk kepentingan pribadinya. Negara yang seharusnya
mengabdi demi hajad hidup orang banyak telah di pereteli kekuasaanya
oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen
pasar berhada[an dengan masyarakat sendiri.
Dengan agenda payung privatisasi misalnya kita telah
dan akan melihat bagaimana banyak BUMN di privatisasi demi memenuhi
budget pemerintah yang telah mengalami defisit. Yang menarik adalah
privatisasi itu terjadi atas desakan IMF yang merupakan kepanjangan
tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara gamblang
menjelaskan bagaimana pemerintah (baca : negara) tidak berdaya di
hadapan sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, ditengah kencangnya gerak maju
neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu
menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa
sehinga neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa
perlawanan sama sekali. Dalam hubungan antar negara bangsa,
pemerintah dan rakyat yang sama sekali tidak saling terkait kita
menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar terkunci dalam gerak
sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam dan kita
telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih
Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan
sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang kita
alami. Seandainya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke
dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam interaksi global yang
asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah pilihannya.
Resikonya adalah seperti apa yang telah di alami Cina (RRC), selama
beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur
internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu
bersaing dengan hegemon dunia. Tentu Cina memiliki kekhasan yang
tidak bisa disamakan dengan Indonesia, tetapi paling tidak ia
merupakan gambaran bahwa there in (an) Alternative (TIA) selain
blue-print AS yang harus di ikuti oleh negara pery-pery.
Konsolidasi politik negara-negara Eropa dan Amerika
yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk
menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperalisme
lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya pertukaran politik global
sehingga memunculkan imperium global yag diikuti dengan perkembangan
diplomasi multerateral dan regulasi internasional dan pembentukan
instritusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi
regional seperti Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain. Institusi
politik internasional inilah yang akan menciptakan aturan main
percaturan politik global berskala internasional khususnya yang
menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian. Perkembangan
politik internasional yang ditopang dengan aturan internasional
tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan
memunculkan rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup
signifikan dan memiliki otoritas untuk menentukan masa depan
negara-negara yang lain. Perkembangan internasionalisasi dan
transnasional politik yang mempunyai kecenderungan hilangnya peran
negara atas warganya, dan kecenderungan untuk membangun satu
pemerintahan rezim global yang berlapis dengan kekuasaan mayanya,
tetapi mampu mengerakkan struktur sosial dan politik dari sebuah
negara. Konsekwensi dari politik transnasional ini adalah miunculnya
hukum-hukum internasional yang kosmopolitan.
Posisi Indonesia yang merupakan bagian dari dunia,
tidak akan mungkin lagi terhindar dari proses internasionalisasi
politik tersebut apalagi dengan kondisi geo-geografis Indonesia yang
strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi
bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan
negara-negara ketiga lainnya akan semakin kehilangan kontrol atas
arus informasi, teknologi, penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi
finansial baik legal maupun ilegal yang melintasi batas-batas
wilayahnya. Aktor non-negara, mulai dari kalangan bisnis hingga
organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan
penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas
pemerintahan nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat
keberhasilan negara dan masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan
global di atas.
Oleh karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam
gambar dan ruang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat
Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang
berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam
sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat
pola-pola yang di gunakan oleh sistem tersebut untuk beroperasi,
katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sistem dunia ini,
lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal
Indonesia dengan sistem dunia ini ?
Adalah Emanuel Wellerstain dan teman-temannya di
Fernan Broudell Center Binghamton University yang mencoba
memperkenalkan perspektif sistem dunia ini sebagai alat baca. Dalam
pandangan para world sistemizer dunia ini terbagi ke dalam tiga
wilayah kerja (internasional divisiopn of labour) yaitu
1. Core, terdiri
dari negara yang memiliki proses-proses produksi yang cangih,
didaerah ini borjuis indigenous memiliki industri otonom yang
memproduksi komoditas manufaktur untuk pasar dunia. Pola-pola kontrol
buruh yang dominan adalah wage labour dan self-employment,
negara-negara core biasanya dengan strong state machinesries. Negara
core pada umumnya Northwest Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
dan Australia.
2. Periferi, terdiri
dari negara-negara yang memiliki proses produksi yang sederhana.
Biasanya produk-produk negara periferi ikut menyumbang proses
akumulasi kapital dinegara-negara core karena dagang memerlukan
pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang. Kontrol buruh juga
dijalankan dengan kekerasan, dengan struktur negara yang lemah.
Negara periferi menurut Wallerstain’s tidak cukup kuat untuk
mengintervensi lajunya komoditas, kapital dan buruh antar zona ini
denfgan zona yang lainnya dalam system dunia. Tetapi cukup kuat untuk
memfasilitasi flows yang sama.
3. Semi Periferi,
mempunyai kompleksitas kegiatan ekonomi, modus kontrol buruh, mesin
negara yang kuat dan sebagainya. Fungsi politik periferi adalah
sebagai buffer zone antara dua kekuatan yang saling berlawanan.
Secara historis, semi periferi terdiri dari negara-negara yang sedang
naik atau turun dalam system dunia.
Sumber
:
http://www.pmiipost.com/kolom-warga/sentrum-gerakan-indonesia-dalam-globalisasi-dan-pasar-bebas-sebagai-relitas-dan-modal-gerakan-2.html#more-854