KSP/ USP Bukan Bank
Paparan Koperasi Dan Sistem Tanggung Renteng
Jumlah anggota yang banyak memang merupakan beban bagi menejemen. Karena banyak anggota banyak pula kepentingan yang terkadang merepotkan menejemen. Sekarang bagaimana keberadaan anggota justru bisa menjadi potnsi pendorong bagi perkembangan koperasi. Sebagaimana selalu disampaikan Prof. Dr. Nirbito, MP dalam berbagai kesempatan Koperasi memang beda dengan bank. Nasabah oleh bank diperlakukan layaknya konsumen sebagai pengguna jasanya. Tapi tidak demikian dengan koperasi. Dalam koperasi, anggota adalah nasabah dan sekaligus pemilik koperasi. Terkait dengan hal tersebut anggota juga berkewajiban untuk mempertahankan dan mengembangkan koperasinya. Maka suatu yang mustahil dengan posisi tersebut anggota tidak pernah berdialog dengan koperasinya. Memang tidak bisa dipungkiri, kadangkala koperasi khususnya KSP –USP koperasi memposisikan diri layaknya sebuah bank. Sehingga dalam hal ini anggota juga memposisikan dirinya layaknya nasabah. Anggota sebagai penghutang dan koperasi sebagai lembaga pelayanan hutang. Hubungan antara koperasi dan anggotanya hanya sebatas dalam masalah hutang – piutang. Tak mengherankan bila kemudian muncul fenomena dimana masyarakat memposisikan KSP-USP koperasi sebagai bank. Dan motivasi utama menjadi anggota koperasi adalah sekedar.berhutang dengan cara lebih mudah. Anggota yang demikian biasanya juga tidak pernah peduli terhadap keberadaan koperasinya. Pokoknya selama kebutuhan berhutangnya terpenuhi, masalahpun beres. Sehingga selama kebutuhan anggota untuk berhutang terpenuhi dan selama koperasi bisa memutar dan mengembangkan modalnya, dianggap tidak ada masalah.
Seperti yang ditengarai oleh Menegkop & UKM sebagaimana disampaikan dalam sambutannya pada peringatan Hari Koperasi ke 60. Menguatnya globalisasi ekonomi menimbulkan tantangan terhadap koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berbasis orang (Member Based Association). Banyak pihak yang mulai meragukan efektivitas nilai dasar koperasi dan prinsip-prinsip yang ada dalam menghadapi tantangan baru dari kekuatan modal. Sehingga banyak koperasi yang mulai menerapkan manajemen perusahaan yang berbasis modal. Akibatnya kepentingan anggota dirugikan dan eksistensi koperasi menjadi kabur karena tidak berada dalam koridor jati diri koperasi.
Dari fenomena tersebut munculah dua kepentingan berbeda namun sebetulnya saling terkait. Kepentingan dari sisi anggota, bagaimana bisa berhutang yang terkadang ada juga yang mau enaknya sendiri. Sementara dari sisi koperasi, bagaimana kapital bisa berkembang dengan resiko seminimal mungkin.
Sebetulanya hal tersebut bukanlah pertentangan. Bukankah koperasi terbentuk karena ada tujuan yang sama dari orang-orang. Dalam hal ini orang-orang bergabung membentuk koperasi agar tujuan yang sama tersebut lebih mudah dicapai. Setelah koperasi terbentuk, orang-orang tersebut memilih diantara mereka untuk jadi pengurus yang akan mengelola koperasinya. Dengan demikian pengurus sebagai pengelola mengemban amanah agar tujuan bersama bisa tercapai. Tujuan inilah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk layanan kepada anggota. Dan fungsi pengelola dalam hal ini adalah bagaimana pelayanan pada anggota bisa terus ditingkatkan. Dengan demikian koperasi sebagai lembaga juga tertuntut agar bisa terus berkembang.
Bagaimana agar koperasi bisa terus berkembang tanpa meninggalkan jati dirinya. Tentu partisipasi anggotanya sangat dibutuhkan. Hal inilah yang harusnya selalu dikomunikasikan kepada anggota. Setidaknya anggota setiap tahun saat Rapat Anggota dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan perjalanan koperasinya.
Dalam sistem tanggung renteng, komunikasi antara koperasi dan anggotanya bisa terjalin secara rutin dan berkala. Apa yang terjadi dalam koperasi disampaikan saat peremuan kelompok oleh PPL atau pengurus sendiri untuk koperasi yang belum memiliki PPL. Karena dalam system ini mengharuskan anggota untuk terhimpun dalam kelompok. Dan sebagai bukti keberadaan kelompok tersebut, harus mengadakan pertemuan rutin secara berkala. Dalam pertemuan inilah dilakukan interaksi antar anggota maupun antara anggota dan koperasinya. Cuma permasalahannya bagaimana membangun interaksi berkualitas dalam kelompok. Artinya, interaksi dalam kelompok tersebut bisa mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembangan diri anggota dan juga koperasinya. Bagi anggota, interaksi dalam kelompok sebagai wahana pembelajaran untuk meningkatkan kualitas diri. Baik peningkatan secara ekonomi maupun intelektualnya. Sehingga manfaat berkoperasi dirasakan tidak hanya sekedar sebagai tempat berhutang. Dengan anggota yang merasa mendapat manfaat dari berkoperasi maka akan meningkat pula partisipasi anggota pada koperasinya.
Hal demikian memang sudah sering didengung-dengungkan. Tapi tidak bisa dipungkiri untuk mewujudkan hal itu juga tidak mudah. Anggota adalah orang dewasa yang tidak mudah begitu saja diatur-atur. Orang dewasa terkadang punya kepentingan yang bersebrangan dengan kepentingan bersama secara kelembagaan. Kepentingan diri lebih ditonjolkan dengan mengabaikan kepentingan bersama.
Disinilah sistem tanggung renteng yang akan menyelaraskan antara kepentingan anggota secara individu maupun kelompok dengan kepentingan koperasi. Tapi sistem ini juga tidak akan efektif bila tidak diimbangi dengan pendampingan atau pembinaan secara terus menerus. Fungsi pendampingan dan pembinaan ini bisa dilaksanakan pengurus secara langsung untuk koperasi yang kelompoknya masih belum banyak. Bila kelompok sudah banyak maka fungsi tersebut bisa didelegasikan pada PPL (Pembina Penyuluh lapangan).
Permasalahannya, pendampingan atau pembinaan anggota dalam kelompok tidaklah sama dengan seorang guru mengajar murid. Atau seorang ustad yang mengajar santrinya. Bila hal ini dilakukan oleh pendamping atau pembina, jelas apa yang dilakukan tidak akan efektif. Karena yang dihadapi adalah orang dewasa dengan karakteristik yang jelas beda dengan anak.
Disisi lain sering kali kehadiran PPL sebagai pendamping atau pembina berubah fungsi menjadi juru tagih dari koperasi. Kalau sudah demikian, koperasi tak ubahnya sebagai bank dan PPL sebagai debt collector-nya. Walaupun koperasi tersebut telah mendeklarasikan dirinya sebagai koperasi yang menerapkan sistem tanggung renteng. Itulah sebabnya sistem tanggung renteng tidak hanya sebagai system pengaman asset dari koperasi. Tapi juga sebagai sistem yang bisa merubah sikap dan perilaku anggota menjadi bertanggung jawab. Dengan rasa tanggung jawab itulah yang pada gilirannya akan menjadi jaminan bahwa asset koperasi akan aman. Karena memang dana yang disalurkan pada anggota dengan sistem tanggung renteng hanya mengandalkan jaminan moral dari anggota.
Dengan demikian, pembinaan dan pendampingan yang dilakukan tidak sekedar bertujuan agar angsuran pinjaman bisa terbayar lengkap secara kelompok. Tapi juga bagaimana pembinaan bisa menyentuh kesadaran anggota agar bisa menjadi bertanggung jawab. Baik pada diri sendiri, kelompok maupun koperasinya. Kalau kesadaran ini bisa muncul dan teraplikasi dalam prilaku serta tercermin pada keputusan yang diambil maka dengan sendirinya asset koperasi akan aman.
Referensi :
http://koperasi-tanggungrenteng.com/koperasi/ksp-usp-bukan-bank